Suara bel sepeda terdengar nyaring sekali.
Aku yang hendak melangkah sejenak mengistirahatkan tubuhku di kamar berbalik
arah ke depan, melihat siapa yang datang. Ternyata kelima kawanku, Doni, Ari,
Bayu, Toriq, dan Sasa sudah di depan rumah di atas sepedanya masing-masing.
“Ar, ayo ikut, kita mau main bola di lapangan
desa. Ada sparring sama desa sebelah.
Yang lain sudah siap di lapangan”, Bayu berteriak saat melihat wajahku
mengintip di pintu depan.
“Tunggu aku ambil sepatu dulu”, segera aku
beranjak ke belakang, mengambil sepatu dan pamit pada ibu yang sedang menjemur
pakaian.
Tak lebih dari sepuluh menit kami sampai,
lapangan sudah terlihat penuh. Meski hanya sebatas tanding antar desa tapi
selalu ramai penonton. Tak kalah dengan pertandingan profesional. Aku biasa
bermain sebagai deffender.
Pertandingan kami menangkan dengan telak.
Kepiawaianku menahan serangan lawan dikombinasi dengan skill Bayu sebagai penyerang membuahkan hasil memuaskan. 3-0 kami
kantongi. Euforia kemanangan memenuhi atmosfer lapangan. Aku dan teman-temanku
diarak bagai pahlawan.
Selepas perayaan singkat itu. Aku dan
kawan-kawanku masih bercengkrama di lapangan. Sampai penonton bubar menyisakan
lapangan yang lengang.
“Belum petang nih, gimana kalau kita mandi
dulu di sungai, sambil main-main nunggu maghrib”, Bayu yang sedari tadi
berbaring tiba-tiba berdiri dan mengibaskan pantat yang penuh dengan rumput
kering.
“Aku capek banget Bay, nggak pulang aja?,
lagian laper jiga habis tanding”, aku sebenarnya malas ke sungai. Kemarau
membuat debit air sungai menurun drastis, tidak segar seperti biasa. Aku
berniat pulang saja. Makan, mandi lalu berbaring sebentar menunggu maghrib.
Tapi Bayu tetap memaksa. Aku terpaksa
mengikuti mereka menuju bibir sungai. Teman-temanku langsung masuk sungai dan
berenang kesana kemari sambil bercanda. Aku masih malas untuk sekedar cuci kaki
atau cuci muka. Kulangkahkan kakiku ke batu dekat sugai dan memanjatnya. Lalu
kuluruskan kakiku sambil memandang teman-temanku yang sedang bergembira.
Aku terbangun kaget saat kudengar
teriakan-teriakan dari sungai. Tak sengaja aku tertidur tadi. Angin sepoi-sepoi
melenakanku. Entah berapa lama. Segera aku berdiri melihat apa yang terjadi. Di
sungai ada Bayu dan Ari yang terlihat berenang ke tepi, selebihnya tidak ada
orang. Mungkin teman yang lain sudah pada pulang. Aku sempat bingung kenapa
juga Bayu teriak-teriak, sambil melambai-lambaikan tangannya lagi. Kubalas
dengan lambaian tangan pula. Sampai kusadari ada yang aneh dri Bayu.
Kuperhatikan dia tak lagi berenang, hanya menggapai-gapai tak jelas.
Langsung aku berlari dan masuk ke sungai.
Gelagat Bayu kukenal jelas dalam memori. Adik kandungku pernah seperti itu
waktu dia hampir tenggelam di kolam renang dekat rumah nenekku. Serabutan
berenang, kuhampiri Bayu. Memegang kuat tangannya untuk kuseret ke tepi. Namun
karena paniknya, Bayu justru seperti ikut menarikku ke dalam. Aku gelagapan.
Tubuhnya yang lebih besar dariku menyusahkan untukku berusaha mempertahankan
posisi. Beberapa kali aku ikut tenggelam karenanya. Namun masih bisa kembali ke
permukaan untuk menghirup udara.
Saat itu aku berteriak pada Ari untuk
mengambil tali atau kayu yang bisa kugunakan untuk menarik Bayu. Namun entah
bagaimana Ari seperti tak mendenganr atau melihatku dan Bayu yang sedang
berjuang mempertahankan hidup. Sampai serak suaraku.
Kucoba kembali menarik Bayu, sambil
kuteriakkan agar dia jangan berontak. Gerakannya yang memberontak justru akan
mencelakakan kami berdua. Aku hampir menangis saking frustasinya. Tenagaku hampir
habis, dan kami masih jauh dari tepi. Bayu tak mau mengindahkan kata-kataku dan
terus saja berontak.
Lalu kurasakan aku seperti ikut terseret ke
dalam bersama Bayu. Sempat megap-megap kehabisan udara dengan tangan Bayu yang
masih mencengkeram erat bahuku. Aku panik dan reflek melepaskan pegangan Bayu
di bahuku. Lalu segera berenang ke permukaan untuk mengambil udara. Terbatuk
berkali-kali dan megap-megap mengambil sebanyak mungkin udara. Dan kusadari
Bayu sudah tidak ada lagi. Seperti terseret begitu saja ke dalam sungai dan tak
muncul hingga beberapa menit. Aku memutuskan berenang ke tepi mengembalikan
tenaga. Ari sudah ada disana. Dengan panik kuberitahukan Ari agar mencari
bantuan untuk menemukan Bayu sebelum terlambat. Ari ikut panik dan lari tunggang
langgang mencari bantuan. Aku masuk kembali ke air, menyelam mencari keberadaan
Bayu. Hingga beberapa waktu belum juga kutemukan.
Senja semakin hilang, berganti dengan gelap.
Aku menangis akibat frustasi belum bisa menemukan Bayu. Terus aku menyelam
sambil berdoa agar Bayu bisa selamat. Lalu kudengar suara-suara orang datang
bersamaan dengan adzan manghrib. Sedikit lega, aku akhirnya berenang ke tepi.
Pak RT yang datang bersama puluhan warga lantas kuberitahu kronologi kejadian.
Keudian memerintahkan beberapa warga untuk ikut mencari.
Semua bertindak. Ada yang menyelap,
melemparkan jala, mencari menggunakan galah panjang, mencari dengan pancing,
namun belum berhasil. Ibu Bayu histeris dan terus menangis. Aku hanya bisa
mendekapnya erat agar tak ikut terjun ke sungai. Entah dimana bapaknya.
Bayu baru diketemukan setelah hampir waktu
Isya’. Tubuhnya tersangkut di salah satu pancing warga dan kemudian ditarik
bersama-sama. Tubuhnya sudah kaku dan tergores di sana sini. Dan ada luka besar
menganga akibat tersangkut pancing. Aku ikut menangis saat menyaksikan ibu Bayu
ambruk saat melihat kondisi anaknya.
0 comments