MAHAPRALAYA BUBAT
Oleh: Heru Sang Amurwabhumi
Untuk tugas
pekan 3 kelas lanjutan fiksi ODOP Batch 7 ini kami diberi kebebasan untuk
me-review salah satu cerpen dengan tema historical fiction. Cerpen yang aku
pilih untuk di review adalah milik kak Heru Sang Amurwabhumi yang terkenal
dengan cerpen-cerpennya yang bertema Sejarah. Mahapralaya Bubat yang sempat
dibawa oleh kak Heru ke Ubud Writer and ReadersFestival lah yang akhirnya aku
pilih untuk diulas.
Tema yang
diangkat pada cerpen ini adalah tentang cerita cinta antara Gajah Mada sebagai
patih Majapahit dengan Pitaloka gadis dari Sunda. Dimana cinta Gajah Mada harus
kandas ketika Raja Hayam Wuruk ternyata menaruh hati pada Pitaloka dan
meminangnya. Gajah Mada yang merasa bingung memilih antara cintanya pada
Pitaloka dan janjinya yang akan setia pada Majapahit dan Raja Hayam Wuruk. Dilema
itu akan membawanya pada peperangan yang terjadi di tanah Bubat. Aku rasa
cerpen ini ditulis oleh kak Heru dilatar belakangi oleh mitos yang beredar
bahwa orang Sunda dilarang untuk menikah dengan orang Jawa dan dikembangan
dengan sangat manis melalui sentuhan sejarah Majapahit.
Alur yang
digunakan pada cerpen ini adalah alur maju yang memudahkan pembaca untuk mengikuti
cerita dengan baik. Disajikan secara ciamik oleh kak Heru dengan beberapa
dialog yang mengandung kosa kata Jawa dan beberapa sisipan sejarah yang memang
terjadi. Mengambil sudut pandang orang pertama, yaitu aku (Patih Gajah Mada)
yang mengalami pergolakan batin akibat cintanya pada Pitaloka yang terhalang
oleh keinginan Raja Hayam Wuruk. Sudut pandang orang pertama dalam sebuah
cerpen membuat pembaca seakan-akan melakoni sendiri cerita yang dipaparkan.
Ada beberapa
tokoh yang diceritakan pada cerpen kali ini. Namun aku hanya akan memaparkan
beberapa tokoh utama. Yang pertama adalah Gajah Mada, seorang patih kerajaan Majapahit
yang akhirnya jatuh cinta pada putri Sunda bernama Pitaloka setelah pertemuan
mereka beberapa hari berselang. Seorang yang tegas dan berwibawa. Berjanji akan
menjaga Majapahit dan Raja Hayam Wuruk dengan nyawanya. Yang kedua ada
Pitaloka, yaitu putri dari kerajaan Galuh yang mempesona. Memiliki wajah ayu
memikat dengan tingkat kesopanan setara ratu. Karena sifatnya yang anggun bisa
menggaet Gajah Mada dengan daya pikatnya. Yang ketiga Raja Hayam Wuruk,
merupakan raja Majapahit yang berkharisma dan sangat kuat. Memiliki jajaran
pengawal dan anak buah yang setia padanya. Menyukai Pitaloka pada pandangan
pertama saat melihat lukisan Pitaloka yang dibuat oleh Sungging Prabangkara
untuk Gajah Mada.
Latar yang
digunakan pada cerpen ini adalah sekitar tahun 1270an Saka di kerajaan
Majapahit. Mengangkat kepopuleran Majapahit sebagai kerajaan besar di Indonesia
dengan beberapa peristiwa yang melingkupinya. Salah satu yang diangkat adalah
terjadinya peperangan Bubat yang menewaskan Baginda Raja Lingga Buana dan
anaknya Pitaloka yang merupakan penguasa kerajaan Galuh di Sunda. Bagi sebagian
besar orang membaca cerita dengan latar sejarah yang kental mungkin terasa
memberatkan, tapi kak Heru berhasil membuatnya begitu mudah dinikmati oleh
banyak pembaca.
Penggunaan bahasa
pada cerpen ini tidak perlu lagi dibahas, bisa masuk ke ajang bergengsi sekelas
Ubud Writers and Readers Festival sudah pasti masalah bahasa sudah tidak ada. Kekuatan
cerpen ini terletak pada banyaknya penggunaan kosakata berbahasa Jawa pada
dialog yang dilakukan. Meski bukan orang Jawa namun untuk bisa mengerti tentang
cerita ini sangat mudah, karena setiap kosakata asing dilengkapi dengan
terjemahannya.
Nilai yang
bisa diambil dari cerpen ini adalah harusnya kita bisa jujur terhadap apapun
perasaan kita. Jangan menutup-nutupi hanya karena hormat kita pada seseorang
karena nantinya akan ada sesal di belakang yang membuat kita justru mungkin
memiliki penilaian lain untuk orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Secara umum
aku sangat menikmati membaca karya-karya kak Heru. Cerpen-cerpennya anti
mainstream dan menambah khazanah pengetahuan akan sejarah dan kebudayaan. Terima
kasih kak Heru. Semoga lain kali aku bisa menuliskan cerita-cerita yang
berkualitas seperti Njenengan.
0 comments