Yung...Biyung....Biyung....Biyung
Nyuwun
sega wadahe tuwung
Nyuwun
bojo sing diiring payung
...
(penggalan
kidung dari dongeneg Kepel)
Banyak memori masa kecil yang
begitu kita dewasa ikut terkikis dan hilang begitu saja. Entah itu sebab usia
atau hal-hal lain yang tidak kita ketahui. Saya juga mengalami hal yang sama,
memori masa kecil saya hilang dan hanya menyisakan serpihan-serpihan kecil.
Dari beberapa serpih itu, Kepel begitu erat terikat dan bisa saya ingat sampai
sekarang.
Kepel adalah salah satu dongeng
yang biasa diceritakan ibu saat malam menjelang tidur. Zaman saya kecil memang
belum ada hiburan lain yang menyenangkan seperti televisi atau handphone. Waktu
itu bahkan listrik saja hanya pakai diesel yang jika sudah pukul 21.00 WIB akan
dimatikan, dan semua gelap gulita.
Ibu dalam ingatan saya adalah
seorang perempuan yang kuat dan tegas. Tetapi kecintaannya pada anak-anaknya
tidak diragukan lagi. Kami menjalani hidup jauh dari kata mewah, tetapi tetap
tumbuh besar dalam kondisi baik. Ada beberapa perbuatan ibu yang masuk dalam
hidup saya sebagai pembelajaran yang melekat kuat meski ibu sendiri mungkin
tidak menyadarinya.
Pertama tentang waktu mendongeng.
Kami bukan keluarga kaya yang bebas membeli buku-buku cerita untuk dibaca,
tetapi ibu dengan tanpa sadar sudah memberikan kecintaan pada literasi dengan
sesi dongeng malam tersebut. Meski cerita yang biasa kami dengarkan hanya
itu-itu saja tetapi bukankah dari paparan kata-kata itu anak menjadi banyak
tahu. Tentang kosakata, ragam cerita, hikmah-hikmah yang terpendam, lalu
imajinasi dan mimpi-mimpi yang mau tidak mau timbul tenggelam seperti ombak
lautan dalam otak sebab stimulus dari dongeng-dongeng itu.
Untuk saya sendiri, dongeng-dongeng
itu semacam pintu untuk membuka kecintaan pada aksara. Diantara semua saudara,
saya lah yang paling suka membaca, paling suka menulis, dan banyak bahan bacaan
dan tulisan saya ada di ranah fiksi, fantasi tepatnya. Mungkin karena terbiasa
dengan dongeng yang cerita-ceritanya cenderung tidak real. Meski ibu bukan orang yang gemar membaca, tetapi ibu telah
berhasil mencetak saya menjadi pembaca, dan penulis yang bertumbuh menjadi
lebih baik dan baik lagi.
Kedua, ibu itu pekerja keras. Zaman
dulu gaji PNS tidak sebesar saat ini. Yang saya ingat ibu saat itu gajinya
hanya sekitaran Rp. 12.000,- per bulan sementara petani tambak udang di tempat
saya tumbuh sekali panen bisa dapat 3 jutaan. Kecil sekali kan?
Nah karena gaji yang kecil itu, ibu
tidak pernah memakai jasa asisten rumah tangga. Semua pekerjaan rumah beliau
kerjakan sendiri. Ibu juga mampu melakukan pekerjaan lain untuk menambah
pendapatan keluarga, misalnya menerima pesanan kue-kue, atau makanan dari
tetangga. Pernah juga memproduksi kecambah, menjual air untuk memasak, jualan jamu
madura, jualan sepatu produksi dari tanah kelahiran beliau, dan masih banyak
lagi.
Menurut saya ibu itu tidak punya
capek. Gesit mengerjakan ini itu di sela-sela momong anak-anaknya. Alhasil karena melihat ibu yang seperti itu
mau tidak mau anak-anaknya juga ikut turun tangan dan memiliki sifat yang sama.
Sejak kecil kami diajari untuk bekerja. Sekedar urusan domestik rumah tangga
seperti membantu ibu memasak, merapikan rumah, mengajak main adik yang masih
kecil, sampai ikut serta membantu di produksi kue, kecambah, dan yang lain. Tak
jarang saya ikut juga berjualan di pasar.
Saat itu saya sempat berpikir
kenapa hidup kita susah, harus kerja dulu baru bisa dapat yang diinginkan
sedangkan teman-teman lain bisa hidup enak, punya makanan beraneka macam, punya
banyak mainan, dan bisa jalan-jalan kemana-mana. Tapi ternyata itu bermanfaat
sekali saat ini, ketika saya juga akhirnya menjadi ibu dan harus melakukan
semua pekerjaan sendiri saya tidak kaget karena sudah terbiasa.
Ketiga, ibu itu super hemat. Ya
wajar juga sih,karena pendapatan keluarga itu kecil sekali. Jadi ibu memang
harus bisa ekstra hemat agar bisa mencukupi semua kebutuhan. Saya terbiasa
sekali dengan lauk tempe sejak kecil. Waktu itu tiap hari lauknya ya tempe itu,
seiris saja dengan pendamping sambal orek. Sambal orek itu hanya garam, cabai,
dan sedikit bawang putih yang diuleg bersama. Sudah itu, setiap hari,
bertahun-tahun.
Tapi kami tidak pernah mengeluh.
Kalau ingin makan ikan, saya dan adik-adik akan memancing di empang dekat
rumah. Untuk sayur juga ada tanam sendiri atau cari di sekitar sawah. Tapi tiap
awal bulan ibu bisa memberi kami kemewahan dengan memasak lauk daging yang
dibumbu lapis, meski lebih banyak porsi kentangnya dari pada daging itu sudah
merupakan kemewahan buat kami.
Itu untuk urusan pangan, untuk
sandang ibu demikian berkorbannya demi kami. Baju-bajunya nyaris semua ada
tambalan, atau bekas jahitan karena robek. Sampai lapuk tetap dipakai agar
setiap lebaran kami bisa memakai baju baru. Kadang juga tidak mampu beli dan
hanya dapat baju lungsuran dari
saudara-saudara.
Ketika sekolah saya dan adik juga
tidak pernah merasakan nikmatnya jajan saat jam istirahat karena tidak punya
uang saku. Yang penting ibu memastikan kami cukup sarapan untuk memberi tenaga
saat sekolah. Ternyata bijak dalam mengelola keuangan itu juga secara otomatis
menurun ke kami anak-anaknya. Sampai saat ini pun saya tidak pernah punya
barang-barang yang berlebih, sepatu cukup satu, tas cukup satu, sampai baju pun
ya itu-itu saja. Bukannya pelit, tapi lebih baik uangnya digunakan untuk
keperluan yang lain. Yang penting masih bisa dan layak digunakan.
Keempat, ibu itu kreatif. Benar
kata orang, kalau kepepet ide pasti muncul begitu saja. Mungkin karena itulah
kreativitas ibu tak terbendung. Lauk tempe yang tidak habis di hari pertama,
besoknya akan dibuat lauk lagi dengan dimodifikasi menjadi lentho tempe, kalau
tidak habis juga akan masuk ke kuah lodeh atau bumbu bali. Sampai kami bosan
pun tidak akan ganti kalau belum habis. Ibu juga kreatif membuat peralatan
rumah dengan tangannya sendiri. Kalau beli mahal, jadi membuat sendiri bisa
menghemat pengeluaran. Kami sering diajari membuat anyaman, baik dari bambu
ataupun pandan. Ibu mahir sekali membuat besek bambu, atau piring dari pandan.
Padahal untuk memotong bambu tipis-tipis itu butuh keahlian khusus, sampai
sekarangpun saya belum bisa.
Kelima, ibu itu sabar. Meski sangat
tegas dan keras sebagai pribadi, tetapi ibu sangatlah sabar. Mungkin karena
datang dari daerah pegunungan, cara bicara ibu lebih halus dibanding cara
bicara masyarakat sekitar jadi terkesan kalem. Belum tahu saja mereka betapa
tegasnya ibu. Tetapi ibu sabar dan telaten sekali, apalagi saat sedang
mengajar. Kebetulan ibu adalah guru SD, dan wali murid sangat menyayangi ibu
dan minta anak-anaknya agar diajar oleh ibu, bukan guru lain.
Ibu itu spesialisasi mengajar kelas
1 dan kelas 6. Kelas 1 sampai jam 10.00 lalu dilanjutkan dengan mengajar kelas
6 sampai pulang sekolah jam 12.00. kenapa kelas 1, karena butuh kesabaran
ekstra menghadapi anak-anak kecil tersebut. Dan kelas 6 karena itu adalah kelas
penentu kelulusan. Dan ibu dipandang paling mampu memegang kelas-kelas
tersebut, sampai saat beliau pensiun.
Keenam, ibu itu komitmen dan
bertanggung jawab. Jangan coba-coba mangkir saat sudah berjanji dengan ibu.
Meski dengan keterbatasan, ibu akan dengan mudah bertanggung jawab pada
tugas-tugasnya. Waktu itu karena tidak punya alat transportasi yang baik, ibu
dengan gembira setiap hari bersepeda dari rumah ke sekolah yang jaraknya
mungkin sekitar 10 km, pulang-pergi. Atau rela berhujan-hujan basah kuyup
sampai sekolah saat harus memberi les diluar jam mengajar, meski sedang hujan
lebat dan murid yang datang hanya satu orang.
Ketujuh, ibu itu orang yang sangat
jujur. Tidak pernah sepanjang hidup saya memergoki ibu sedang berbohong. Ibu
sangat jujur dan memandang kejujuran itu sebagai sesuatu yang wajib dimiliki.
Sesakit apapun tetap harus berkata yang sebenarnya. Tetapi saya sendiri belum
bisa melakukan kejujuran sekonsisten ibu. Adakalanya saya masih berbohong,
meski kecil.
Kedelapan, ibu adalah aktris
jempolan. Seringnya masalah ekonomi memang memicu pertengkaran-pertengkaran
kecil dalam rumah tangga. Saya beberapa kali menjumpai ibu yang terisak di
sudut kamar, tetapi beliau selalu menampakkan senyum saat tahu ada saya di
sana. Bilang bahwa habis kelilipan, atau matanya perih, atau alasan lain yang
terpikir oleh beliau. Tidak pernah mudah hidup bersama dengan kepribadian yang
tidak sama. Kadang harus mengalah agar tidak menimbulkan masalah. Saya tahu
betul ibu benar-benar berjuang agar tampil baik-baik saja meski hatinya sedang
terluka.
Seiring waktu saat saya pun menjadi
ibu, saya tahu betul bahwa begitu besarnya hati ibu yang mampu menahan berbagai
terpaan, luka, maupun masalah, lalu dengan entengnya menampilkan wajah bahagia.
Luka itu ada tetapi sengaja disembunyikan agar tidak bernanah. Maka kebesaran
hati ibu bagi saya adalah anugerah, sehingga sampai saat ini saya bisa hidup
bahagia dengan memandang ibu yang bahagia di masa kecil saya.
Kalau harus diteruskan, mungkin
akan menjadi berlembar-lembar tulisan tentang ibu. Yang saya pegang, ibu itu
tegas tapi penyayang, keras tetapi sabar, mampu tersenyum meskipun sedang
sulit, dan sangat mencintai keluarga. Terlepas dari setiap orang pasti memiliki
kelemahan, buat saya ibu adalah segalanya.
Setiap anak pasti ingin bisa
membanggakan orangtuanya, biar bagaimanapun. Tetapi kadang ada saatnya sesuatu
menjadi ganjalan untuk itu. Bukan berarti kami tidak sayang, atau tidak peduli.
Bagi anak-anak seperti kami ibu dan bapak adalah segalanya. Kami tidak ingin
melihat kalian sakit, meski kadang kami sendiri yang secara tidak sadar
menyakiti.
Maafkan kami ibu, kaena menjadi
anak yang masih belajar menjadi sempurna. Terima kasih untuk setiap hal yang
menjadikan kami belajar, menjadikan kami besar. Cintamu tidak akan mampu
tertandingi oleh apapun di bumi ini. Tunggulah kami belajar menjadi dewasa.
0 comments