BLANTERORBITv102

IBU, SEKOLAH PERTAMAKU

Tuesday, September 6, 2022

 

Lukisan Ibu dan Anak, Basuki Abdullah

Yung...Biyung....Biyung....Biyung

Nyuwun sega wadahe tuwung

Nyuwun bojo sing diiring payung

...

(penggalan kidung dari dongeneg Kepel)

 

Banyak memori masa kecil yang begitu kita dewasa ikut terkikis dan hilang begitu saja. Entah itu sebab usia atau hal-hal lain yang tidak kita ketahui. Saya juga mengalami hal yang sama, memori masa kecil saya hilang dan hanya menyisakan serpihan-serpihan kecil. Dari beberapa serpih itu, Kepel begitu erat terikat dan bisa saya ingat sampai sekarang.

 

Kepel adalah salah satu dongeng yang biasa diceritakan ibu saat malam menjelang tidur. Zaman saya kecil memang belum ada hiburan lain yang menyenangkan seperti televisi atau handphone. Waktu itu bahkan listrik saja hanya pakai diesel yang jika sudah pukul 21.00 WIB akan dimatikan, dan semua gelap gulita.

 

Ibu dalam ingatan saya adalah seorang perempuan yang kuat dan tegas. Tetapi kecintaannya pada anak-anaknya tidak diragukan lagi. Kami menjalani hidup jauh dari kata mewah, tetapi tetap tumbuh besar dalam kondisi baik. Ada beberapa perbuatan ibu yang masuk dalam hidup saya sebagai pembelajaran yang melekat kuat meski ibu sendiri mungkin tidak menyadarinya.

 

Pertama tentang waktu mendongeng. Kami bukan keluarga kaya yang bebas membeli buku-buku cerita untuk dibaca, tetapi ibu dengan tanpa sadar sudah memberikan kecintaan pada literasi dengan sesi dongeng malam tersebut. Meski cerita yang biasa kami dengarkan hanya itu-itu saja tetapi bukankah dari paparan kata-kata itu anak menjadi banyak tahu. Tentang kosakata, ragam cerita, hikmah-hikmah yang terpendam, lalu imajinasi dan mimpi-mimpi yang mau tidak mau timbul tenggelam seperti ombak lautan dalam otak sebab stimulus dari dongeng-dongeng itu.

 

Untuk saya sendiri, dongeng-dongeng itu semacam pintu untuk membuka kecintaan pada aksara. Diantara semua saudara, saya lah yang paling suka membaca, paling suka menulis, dan banyak bahan bacaan dan tulisan saya ada di ranah fiksi, fantasi tepatnya. Mungkin karena terbiasa dengan dongeng yang cerita-ceritanya cenderung tidak real. Meski ibu bukan orang yang gemar membaca, tetapi ibu telah berhasil mencetak saya menjadi pembaca, dan penulis yang bertumbuh menjadi lebih baik dan baik lagi.

 

Kedua, ibu itu pekerja keras. Zaman dulu gaji PNS tidak sebesar saat ini. Yang saya ingat ibu saat itu gajinya hanya sekitaran Rp. 12.000,- per bulan sementara petani tambak udang di tempat saya tumbuh sekali panen bisa dapat 3 jutaan. Kecil sekali kan?

 

Nah karena gaji yang kecil itu, ibu tidak pernah memakai jasa asisten rumah tangga. Semua pekerjaan rumah beliau kerjakan sendiri. Ibu juga mampu melakukan pekerjaan lain untuk menambah pendapatan keluarga, misalnya menerima pesanan kue-kue, atau makanan dari tetangga. Pernah juga memproduksi kecambah, menjual air untuk memasak, jualan jamu madura, jualan sepatu produksi dari tanah kelahiran beliau, dan masih banyak lagi.

 

Menurut saya ibu itu tidak punya capek. Gesit mengerjakan ini itu di sela-sela momong anak-anaknya. Alhasil karena melihat ibu yang seperti itu mau tidak mau anak-anaknya juga ikut turun tangan dan memiliki sifat yang sama. Sejak kecil kami diajari untuk bekerja. Sekedar urusan domestik rumah tangga seperti membantu ibu memasak, merapikan rumah, mengajak main adik yang masih kecil, sampai ikut serta membantu di produksi kue, kecambah, dan yang lain. Tak jarang saya ikut juga berjualan di pasar.

 

Saat itu saya sempat berpikir kenapa hidup kita susah, harus kerja dulu baru bisa dapat yang diinginkan sedangkan teman-teman lain bisa hidup enak, punya makanan beraneka macam, punya banyak mainan, dan bisa jalan-jalan kemana-mana. Tapi ternyata itu bermanfaat sekali saat ini, ketika saya juga akhirnya menjadi ibu dan harus melakukan semua pekerjaan sendiri saya tidak kaget karena sudah terbiasa.

 

Ketiga, ibu itu super hemat. Ya wajar juga sih,karena pendapatan keluarga itu kecil sekali. Jadi ibu memang harus bisa ekstra hemat agar bisa mencukupi semua kebutuhan. Saya terbiasa sekali dengan lauk tempe sejak kecil. Waktu itu tiap hari lauknya ya tempe itu, seiris saja dengan pendamping sambal orek. Sambal orek itu hanya garam, cabai, dan sedikit bawang putih yang diuleg bersama. Sudah itu, setiap hari, bertahun-tahun.

 

Tapi kami tidak pernah mengeluh. Kalau ingin makan ikan, saya dan adik-adik akan memancing di empang dekat rumah. Untuk sayur juga ada tanam sendiri atau cari di sekitar sawah. Tapi tiap awal bulan ibu bisa memberi kami kemewahan dengan memasak lauk daging yang dibumbu lapis, meski lebih banyak porsi kentangnya dari pada daging itu sudah merupakan kemewahan buat kami.

 

Itu untuk urusan pangan, untuk sandang ibu demikian berkorbannya demi kami. Baju-bajunya nyaris semua ada tambalan, atau bekas jahitan karena robek. Sampai lapuk tetap dipakai agar setiap lebaran kami bisa memakai baju baru. Kadang juga tidak mampu beli dan hanya dapat baju lungsuran dari saudara-saudara.

 

Ketika sekolah saya dan adik juga tidak pernah merasakan nikmatnya jajan saat jam istirahat karena tidak punya uang saku. Yang penting ibu memastikan kami cukup sarapan untuk memberi tenaga saat sekolah. Ternyata bijak dalam mengelola keuangan itu juga secara otomatis menurun ke kami anak-anaknya. Sampai saat ini pun saya tidak pernah punya barang-barang yang berlebih, sepatu cukup satu, tas cukup satu, sampai baju pun ya itu-itu saja. Bukannya pelit, tapi lebih baik uangnya digunakan untuk keperluan yang lain. Yang penting masih bisa dan layak digunakan.

 

Keempat, ibu itu kreatif. Benar kata orang, kalau kepepet ide pasti muncul begitu saja. Mungkin karena itulah kreativitas ibu tak terbendung. Lauk tempe yang tidak habis di hari pertama, besoknya akan dibuat lauk lagi dengan dimodifikasi menjadi lentho tempe, kalau tidak habis juga akan masuk ke kuah lodeh atau bumbu bali. Sampai kami bosan pun tidak akan ganti kalau belum habis. Ibu juga kreatif membuat peralatan rumah dengan tangannya sendiri. Kalau beli mahal, jadi membuat sendiri bisa menghemat pengeluaran. Kami sering diajari membuat anyaman, baik dari bambu ataupun pandan. Ibu mahir sekali membuat besek bambu, atau piring dari pandan. Padahal untuk memotong bambu tipis-tipis itu butuh keahlian khusus, sampai sekarangpun saya belum bisa.

 

Kelima, ibu itu sabar. Meski sangat tegas dan keras sebagai pribadi, tetapi ibu sangatlah sabar. Mungkin karena datang dari daerah pegunungan, cara bicara ibu lebih halus dibanding cara bicara masyarakat sekitar jadi terkesan kalem. Belum tahu saja mereka betapa tegasnya ibu. Tetapi ibu sabar dan telaten sekali, apalagi saat sedang mengajar. Kebetulan ibu adalah guru SD, dan wali murid sangat menyayangi ibu dan minta anak-anaknya agar diajar oleh ibu, bukan guru lain.

 

Ibu itu spesialisasi mengajar kelas 1 dan kelas 6. Kelas 1 sampai jam 10.00 lalu dilanjutkan dengan mengajar kelas 6 sampai pulang sekolah jam 12.00. kenapa kelas 1, karena butuh kesabaran ekstra menghadapi anak-anak kecil tersebut. Dan kelas 6 karena itu adalah kelas penentu kelulusan. Dan ibu dipandang paling mampu memegang kelas-kelas tersebut, sampai saat beliau pensiun.

 

Keenam, ibu itu komitmen dan bertanggung jawab. Jangan coba-coba mangkir saat sudah berjanji dengan ibu. Meski dengan keterbatasan, ibu akan dengan mudah bertanggung jawab pada tugas-tugasnya. Waktu itu karena tidak punya alat transportasi yang baik, ibu dengan gembira setiap hari bersepeda dari rumah ke sekolah yang jaraknya mungkin sekitar 10 km, pulang-pergi. Atau rela berhujan-hujan basah kuyup sampai sekolah saat harus memberi les diluar jam mengajar, meski sedang hujan lebat dan murid yang datang hanya satu orang.

 

Ketujuh, ibu itu orang yang sangat jujur. Tidak pernah sepanjang hidup saya memergoki ibu sedang berbohong. Ibu sangat jujur dan memandang kejujuran itu sebagai sesuatu yang wajib dimiliki. Sesakit apapun tetap harus berkata yang sebenarnya. Tetapi saya sendiri belum bisa melakukan kejujuran sekonsisten ibu. Adakalanya saya masih berbohong, meski kecil.

 

Kedelapan, ibu adalah aktris jempolan. Seringnya masalah ekonomi memang memicu pertengkaran-pertengkaran kecil dalam rumah tangga. Saya beberapa kali menjumpai ibu yang terisak di sudut kamar, tetapi beliau selalu menampakkan senyum saat tahu ada saya di sana. Bilang bahwa habis kelilipan, atau matanya perih, atau alasan lain yang terpikir oleh beliau. Tidak pernah mudah hidup bersama dengan kepribadian yang tidak sama. Kadang harus mengalah agar tidak menimbulkan masalah. Saya tahu betul ibu benar-benar berjuang agar tampil baik-baik saja meski hatinya sedang terluka.

 

Seiring waktu saat saya pun menjadi ibu, saya tahu betul bahwa begitu besarnya hati ibu yang mampu menahan berbagai terpaan, luka, maupun masalah, lalu dengan entengnya menampilkan wajah bahagia. Luka itu ada tetapi sengaja disembunyikan agar tidak bernanah. Maka kebesaran hati ibu bagi saya adalah anugerah, sehingga sampai saat ini saya bisa hidup bahagia dengan memandang ibu yang bahagia di masa kecil saya.

 

Kalau harus diteruskan, mungkin akan menjadi berlembar-lembar tulisan tentang ibu. Yang saya pegang, ibu itu tegas tapi penyayang, keras tetapi sabar, mampu tersenyum meskipun sedang sulit, dan sangat mencintai keluarga. Terlepas dari setiap orang pasti memiliki kelemahan, buat saya ibu adalah segalanya.

 

Setiap anak pasti ingin bisa membanggakan orangtuanya, biar bagaimanapun. Tetapi kadang ada saatnya sesuatu menjadi ganjalan untuk itu. Bukan berarti kami tidak sayang, atau tidak peduli. Bagi anak-anak seperti kami ibu dan bapak adalah segalanya. Kami tidak ingin melihat kalian sakit, meski kadang kami sendiri yang secara tidak sadar menyakiti.

 

Maafkan kami ibu, kaena menjadi anak yang masih belajar menjadi sempurna. Terima kasih untuk setiap hal yang menjadikan kami belajar, menjadikan kami besar. Cintamu tidak akan mampu tertandingi oleh apapun di bumi ini. Tunggulah kami belajar menjadi dewasa.


Author

Marwita Oktaviana

Blogger, Book lover, Writing Enthusiast, A friend of a many students