BLANTERORBITv102

NAWANG LINTANG

Saturday, May 13, 2023

 

Gending jawa terdengar mendayu-dayu saat matahari bersiap rebah di barat. Jingga yang mengakuisisi senja menguarkan damai di hati semesta. Kesibukan di keraton Kasunanan Surakarta masih berderap meski gelap mulai merambat. Dua bulan lagi jumenengan ndalem1 akan diadakan. Para abdi dalem sudah mulai disibukkan dengan banyaknya persiapan untuk menyambut prosesi sakral tersebut.

 

Sesosok gadis terlihat di sudut pendapa Sasanasewaka. Tubuh gadis itu meliukkan cinta dalam tiap gerakan-gerakan halus tari yang sedang dilatihnya. Matanya sayu menggambarkan kerinduan seorang wanita terhadap lelaki sang pemilik hati. Setiap gerakan kapang-kapang2 dilakukan penuh dengan curahan hati perempuan kasmaran. Asmarandana terlihat begitu jelas dalam setiap gerakan mistis yang dia peragakan sepenuh jiwa.

 

Jauh di bawah bayang-bayang pohon Beringin yang menjadi pengayom Kasunanan terlihat seorang pria menatap tajam ke arah pendapa. Tangannya terkepal dengan bibir tertutup rapat menahan gejolak yang muncul semakin besar seiring gending pengiring gerakan tari yang sedang dia awasi sejak matahari mulai rebah di langit barat.

 

***

 

Ngger3 sudah malam, ayo kembali ke rumah. Lanjutkan lagi latihannya besok pagi saja sebelum nama-nama penari diumumkan”.

 

Lintang menghentikan gerakan tarinya. Dilihatnya simbok4 sudah berdiri di belakang dengan sebuah bungkusan di tangan. Dia adalah anak dari abdi dalem5 keraton yang beruntung dipilih untuk bisa berlatih memainkan tarian sakral. Tidak sembarang orang bisa memainkan tarian itu. Biasanya hanya para putri keraton yang didapuk memainkannya. Tapi sejak beberapa tahun lalu anak-anak dari abdi dalem mulai dipilih untuk mulai berlatih sejak masih kecil. Sebelum terpilih sepuluh tahun yang lalu, Lintang telah berlatih sendiri, sembunyi-sembunyi. Menatap para putri kerajaan berlenggak lenggok menari di pendapa dengan tatapan mendamba. Liukan tarian itu menghipnotisnya hingga lekat dalam pikiran. Sejak itu satu cita-cita mulai muncul dalam benaknya.

 

Sebenarnya pantang bagi Lintang menghentikan tarian di tengah jalan. Tarian sesakral ini tak boleh terpotong oleh sebab apapun. Tapi Lintang tahu memang sudah waktunya beranjak. Seluruh alam telah hitam pekat diselimuti malam menyisakan orkestra binatang malam yang menghangatkan jiwa.

 

Dalam hati Lintang berdoa pada Sang Maha Kuasa agar keinginannya dapat terwujud di tahun ini. Dia sudah berlatih sepuluh tahun untuk mewujudkan mimpinya. Semoga namanya disebut sebagai nawa natha6 yang akan mempertunjukkan Bedhaya Ketawang7 di hadapan Sinuhun8 Pakubuwono XI.

***

 

Nawang Lintang membekap mulutnya dengan mata terbelalak. Dadanya gemuruh oleh suka cita. Namanya dibacakan sebagai penari buncit9 dalam pagelaran Bedhaya Ketawang yang akan digelar di hari kedua bulan Ruwah10 tepat sebulan lagi. Airmata menggenang membasahi pipi gadis berkulit langsat dengan mata bulat yang lentik. Meski bukan seorang putri, tapi Lintang memiliki wajah priyayi11. Bahkan kecantikannya mengalahkan para putri di keraton Kasunanan.

 

Dari ujung matanya terlihat simbok sedang bersimpuh menghaturkan sujud sebagai wujud syukur tak terhingga. Mulai besok Lintang harus mulai menjalankan ritual untuk menyucikan jiwa dan raga sebelum pagelaran. Para penari haruslah seorang gadis suci. Kesucian mereka adalah mutlak sebagai persembahan agar Kanjeng Ratu Kidul bersedia datang menjadi penari ke-10 yang akan menyempurnakan prosesi.

 

Olah tubuh semakin gencar dilakukan. Kesembilan penari harus memiliki kekuatan dan ketahanan tubuh tinggi. Melakukan gerakan tari selama lebih dari dua jam bukanlah pekerjaan gampang. Terlebih gerakan tari yang gemulai dengan ritme lambat yang khas menjadi ciri Bedhaya Ketawag teramat menguras tenaga. Menjaga kestabilan gerakan agar tetap luwes membutuhkan kesabaran. Terlebih mereka harus melakukannya dalam kondisi berpuasa untuk mencapai kesucian.

 

Lintang terlihat di antara kesembilan penari. Gerakan luwesnya mengundang decak kagum dari para pelatih dan abdi dalem yang menyaksikan latihan. Posisinya sebagai penari ke-9 sangat pantas disandang. Penari ke-9 melambangkan konstelasi bintang di langit, sesuai dengan nama yang disandangnya. Lintang juga memiliki tubuh yang kuat dan rikat10 karena setiap hari membantu simbok di kebun keraton. Tidak pernah ada keluhan keluar dari bibirnya. Ini adalah mimpi yang sebentar lagi terwujud. Sesulit apapun akan dia hadapi.

***

Para abdi dalem telah bersiap di pagi buta. Hari ini adalah prosesi besar jumenengan ndalem. Kasunanan bergeliat menyambut hari besar. pendapa Sasanasewaka telah gemerlap bersiap menyambut tarian sakral yang akan digelar di sana. Kesibukan menguar di pekat subuh yang mulai bersemburat jingga. Sementara di salah satu padepokan, ke-9 penari telah berkumpul. Melakukan ritual akhir sebelum pertunjukan. Baju dodot ageng12 dan gelung bokor mengkurep13 mulai dikenakan. Sebentar lagi mereka akan menjelma sebagai pengantin jawa dengan dominan warna hijau pada pakaian yang mereka kenakan.

 

Lintang terlihat di antara kerumunan penari dan perias. Wajahnya datar tanpa riak. Riasan mistis yang melebur di wajahnya menambah ayu. Pesona putri raja menguar menyilaukan dari tubuh seorang anak rakyat biasa. Tubuhnya tegap menantang waktu. Sepuluh tahun penantiannya akan terbayar hari ini juga. Lintang akan mengerahkan seluruh kemampuan yang dia miliki untuk pertunjukan nanti. Dapat memandang langsung Sunan Pakubuwono XI adalah berkah langit yang tak terhingga baginya.

 

Gendhing Ketawang Gedhe14 yang diawali tembang Durma mengalun pelan mengantar ke-9 penari menghadap sang Sunan. Sembah mereka membawa airmata yang turun di pipi Pakubuwono XI. Setelah perjanjian Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul dulu, maka setiap Sunan selanjutnya pun akan menikah dengan Sang penguasa Pantai Selatan. Kidung-kidung cinta mengalun dari setiap gerakan tubuh para penari mewujudkan getaran cinta Kanjeng Ratu Kidul untuk sang raja. Lintang dengan paesan15 yang menambah kecantikan wajah mempesona segenap hadirin.

 

Setengah jam tarian itu telah dibawakan. Saat tembang Ratnamulya berlaras slendro mulai terdengar, tiba-tiba para hadirin dan Pakubuwono XI dikejutkan dengan runtuhnya salah satu soko16 yang menahan pendapa. Telak menimpa orang-orang yang ada di bawahnya. Seorang lelaki terlihat bersimbah darah setelah tertimpa soko sebesar itu. Darah menggenang memenuhi lantai pendapa. Sri Sunan Pakubuwono XI langsung berlari menghambur mendekati tubuh yang bersimbah darah, meninggalkan singgasana yang harusnya tak boleh kosong selama prosesi. Lelaki itu adalah putra mahkota Kasunanan. Tubuh putra mahkota langsung dibawa oleh para abdi dalem untuk dirawat setelah berhasil memindahkan soko yang menghimpit. Sri Sunan berlari di belakang sambil merapal doa untuk keselamatan sang putra.

 

Pendapa gempar, prosesi jumenengan ndalem ternoda oleh kejadian tak terduga itu. Meski demikian para penari tetap melanjutkan tarian mereka apapun yang terjadi. Bedhaya Ketawang harus dibawakan sampai akhir untuk menghindari kemarahan Kanjeng Ratu Kidul. Meski sang Sunan telah meninggalkan singasana di pendapa, tapi beberapa anggota keraton masih duduk bersimpuh di tempatnya tunduk pada ketentuan kerajaan.

 

Mendung tiba-tiba berarak memupus terik yang mengudara. Disusul dengan gemuruh kilat menggelegar memecah langit. Tepat saat salah satu petir menyambar pohon beringin yang ada tak jauh dari pendapa Lintang ambruk. Tubuh moleknya terkulai saat kesadaran pergi meninggalkan darah dan daging yang tanpa daya. Di antara tetes-tetes hujan yang menderas mendekap keraton Surakarta formasi penari Bedhaya Ketawang  rusak oleh ketiadaan penari ke-9. Kepanikan melanda seisi keraton. Para penari yang tetap menyelesaikan semua gerakan nampak berkaca-kaca. Dalam hati bergejolak keinginan antara menolong Lintang dan tetap menjalankan kewajiban menuntaskan tarian.

 

***

 

Lintang menatap gemintang yang menghiasi langit Surakarta. Badannya basah oleh keringat setelah melakukan latihan terakhir sebelum dua hari lagi tampil. Perlahan dikemasi semua barangnya dan beranjak meninggalkan pendapa menuju gubuk tempatnya tinggal bersama simbok. Mendekati pohon beringin Lintang dikejutkan dengan tangan yang membekap mulut dan menyeretnya tiba-tiba menuju bangunan kosong di sebelah selatan pendapa.

 

Tangan kekar itu tak mampu dilawan oleh Lintang, sia-sia upayanya untuk menyelamatkan diri. Tenaganya terkuras habis saat latihan tadi dan tubuh orang yang membekapnya teralu kuat untuk dikalahkan. Lintang pasrah.

 

***

 

Kicau burung membuat Lintang membuka mata. Perih yang dia rasakan di sekujur tubuh membuatnya menghentikan gerakan. Airmata membanjiri wajah saat dia melihat tubuhnya tercabik tanpa satu pun benang menempel. Bercak darah terlihat diantara selangkangan membuatnya tersadar apa yang terjadi. Orang yang menyeretnya telah merenggut mahkota berharganya.

***

 

Para penari berlari menuju Lintang yang masih terbujur di pendapa sesaat setelah mereka menuntaskan tarian dan kembali ke Dalem Agung Prabasuyasa. Mereka menjerit panik saat dari selangkangan Lintang mengalir darah menodai kesucian pendapa. Para abdi dalem  dan anggota kerajaan serentak merapalkan doa dan mantra tolak bala. Apa yang terjadi hari ini tepat di saat  jumenengan ndalem diadakan adalah sebuah pertanda. Mereka tidak tahu bahwa salah satu penari Bedhaya Ketawang telah terenggut kesuciannya.

 

Kanjeng Ratu Kidul melampiaskan marah dengan menghancurkan keraton dan orang-orang yang telah menodai cinta suci yang tergambar dalam setiap gerakan tarian, cintanya untuk sang Senopati belahan jiwa. Lintang yang mendewakan cintanya pada Bedhaya Ketawang menjadi korban. Dia tidak sanggup mundur dari sembilan penari setelah tahu bahwa dirinya tak suci lagi. Mimpinya selama berpuluh tahun harus tuntas. Dia membungkam mulutnya dalam-dalam.

 

Orang yang telah begitu tega mengambil mahkota berharga milik Lintang dan memupus mimpi banyak orang saat ini tengah berkutat dengan nyawa yang hendak loncat dari raganya. Orang itu adalah putra mahkota yang menyimpan birahi cukup lama oleh kecantikan Lintang yang mempesona.

 

 

Jumenengan ndalem1, Jawa, upacara kenaikan tahta raja.

Kapang-kapang2, Jawa, gerakan tari dalam Bedhaya Ketawang.

Ngger3, Jawa, panggilan untuk anak.

Simbok4, Jawa, Ibu.

Abdi dalem5, Jawa, para pekerja di keraton Kasunanan Surakarta.

Nawa natha6, Bali, sembilan penari.

Bedhaya Ketawang7, Jawa, tarian sakral dari keraton Surakarta yang hanya ditampilkan pada momen-momen tertentu.

Sinuhun8, Jawa, Junjungan .

Buncit9, Jawa, penari Bedhaya Ketawang ke 9.

Ruwah10, Jawa, bulan ke 8 dalam penanggalan Jawa.

Priyayi11, Jawa, golongan bangsawan.

Dodot ageng12, Jawa, pakaian basahan, biasanya dipakai oleh mempelai perempuan Jawa.

Gelung bokor mengkurep13, Jawa, gaya sanggul untuk paes ageng.

Gendhing Ketawang Gedhe14, Jawa, musik yang digunakan sebagai pengiring tari Bedhaya Ketawang.

Paesan15, Jawa, Riasan.

Soko16, Jawa, kayu penahan bangunan

 


Author

Marwita Oktaviana

Blogger, Book lover, Writing Enthusiast, A friend of a many students