Jati masih berdiri kaku di samping bale bambu. Rumah ini
bukan rumah yang dia rindu. Di dalam kepalanya
hanya tersisa memori buruk. Sebenarnya rumah itu adalah sebuah rumah kuno yang sangat nyaman, dengan pekarangan luas
penuh dengan tumbuhan dan bunga. Tapi semenjak
remaja Jati telah dengan sengaja
menghindari untuk pulang.
Seorang lelaki tua sedang duduk membelakangi Jati.
Tangannya terampil meraut bambu untuk dijadikan tumbu1. Dari mulutnya terdengar lirih gending Sekar Gading2
rancak memecah sepi.
“Bapak dimana Mbah3?”.
Lelaki tua itu menoleh
sedikit kaget. Seketika senyum
melengkung dari bibir keriput miliknya.
“Kapan sampai,
Le4? Bapakmu
baru saja pergi ke sawah ngrabuk5”.
Dia berdiri dengan
tubuh tegak. Bahkan
setua itu badannya
masih bugar, tidak ada kebungkukan atau nyeri sendi yang dia miliki. Tangannya terulur hendak
meraup tubuh Jati dan mengajaknya masuk dalam rumah.
Namun, Jati refleks
menghindar. Lelaki tua itu menghembuskan nafas pelan tahu bahwa cucunya masih belum bisa terima dengan kehadirannya.
***
Sekar gading sekare gading Gadinge se mayar mayar Timbang
bingung gawe gembira
Ngelingna budayane kuna Banyumasan
bisa gawe suka Sekar gading
sekare gading
Gegandung kawulane
Sekar gading
sekare se mayar mayar
Gending calung bernada slendro
dan pelog6 memecah
malam. Empat orang lengger7 terlihat gemulai
menarikan tubuh. Pinggul
melenggak-lenggok dengan gerakan
cepat. Terlihat erotis
bagi sebagian orang yang
tidak bisa melihat seni yang tertuang dari gerakan-gerakan simbolis ke- empat penari. Penonton yang berkerumun
malam itu tidak hanya lelaki, tetapi juga perempuan dan anak-anak, penuh dan riuh. Terlihat beberapa
lelaki mendekati penari
dan ngibing8 bersama mereka. Masih babak gambyongan9 dan malam masih panjang. Lengger akan berjalan hingga menjelang
pagi.
Menjelang tengah malam Tantri mengalami
trans. Penonton bersorak mengetahui itu. Dia menghampiri sesajen10 yang diletakkan di depan panggung
dan langsung memakan
aneka kembang yang ada di
sana. Indhang11 telah
masuk dalam tubuhnya. Malam masih panjang dan
bisa dipastikan pertunjukan
malam ini akan berjalan sempurna.
***
Tantri berjalan menuju belakang panggung. Kemben yang dia
kenakan terlihat membumbung. Bukan
oleh buah dada tapi banyaknya uang sawer yang dia peroleh dari para lelaki yang
ikut ngibing bersamanya. Tubuhnya
dipilih oleh indhang lengger
sejak masih anak-anak. Berbekal itu Tantri
lantas memantaskan diri menjadi penari
lengger dengan menjalani berbagai
ritual. Seperti puasa mutih, tidur di depan pintu setiap
selasa dan jumat kliwon, serta puncaknya semedi dan mandi di 7 sumur
yang menjadi tempat semedi lengger.
Karirnya melesat, berbagai panggung di seluruh wilayah
Banyumas telah dia lakoni. Sebagai penari,
dia adalah primadona. Kemunculannya selalu ditunggu dan bisa dipastikan setiap
tampil penonton selalu
membludak. Gemulai tubuh dan atraksi
saat trans selalu mampu membius para penonton.
***
“Mulai besok Mbah akan tinggal di rumah kita”.
Kata-kata yang diucapkan bapak menampar Jati. Bukan sebab
Jati tidak sayang pada simbahnya, tetapi apa yang melekat pada simbahnya yang tidak bisa dia terima.
Jika hanya untuk berbakti, selama ini Jati masih sering menyambangi dan membawakan keperluan simbah di
tempat tinggal lamanya.
Tetapi untuk tinggal
serumah masih ada ganjalan
dalam hati.
“Putune12 PKI!”.
Kata-kata yang terucap dari bibir para tetangga tak pernah
bisa Jati lupa. Membuatnya harus melakoni
hidup di masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan. Hanya karena olok-olokan itu dia dijauhi teman-temannya karena takut
dan risih. Sebab itu dia merasa sedikit tidak suka pada simbahnya.
Apa yang diucapkan bapak adalah titah. Dan Jati memilih
menyingkir sejauh dia bisa. Trauma masa
kecil itu tidak hilang begitu saja.
***
“Seminggu lagi kita pentas di Purwokerto”.
Tantri mau tak mau tersenyum mendengar kata-kata salah satu
penabuh calung yang biasa mengiringi
tariannya. Melakukan pertunjukan di pusat kota adalah sebuah kehormatan yang lama dia tunggu. Menari di sana akan
melambungkan namanya semakin tinggi. Pejabat dan orang-orang penting
akan ikut menyaksikan.
***
Tantri baru,memulai babak ebeg-ebeg13 saat terjadi keributan yang membuat penonton
lari tunggang langgang menampakkan panggung
yang tadinya rapat tertutup manusia.
Tantri berusaha melanjutkan tarian sambil matanya
menyasar kejauhan ingin tahu apa yang terjadi.
Suara tembakan yang terdengar tiba-tiba sontak membuat
seluruh manusia yang ada di tempat pertunjukan
kocar-kacir menyelamatkan diri begitu juga denga Tantri dan teman-teman penari. Dengan sangat cepat beberapa lelaki meringkus penari dan pemain calung yang sedang melakukan pertunjukan.
Tantri membuka mata pelan-pelan. Tubuhnya terasa ngilu di
beberapa bagian. Saat matanya sudah
beradaptasi dengan kondisi sekitar barulah dia sadar sedang berada di satu
ruangan bersama dengan
ke-tiga penari lainnya.
Kondisi ketiganya tak lebih
baik darinya.
***
“Apa hubunganmu karo Djoko Pekik14?”
Satu tentara garang
dengan todongan senaan
tepat di dahi Tantri memaksanya untuk menjawab pertanyaan yang Tantri tidak paham apa. Siapa pula Djoko Pekik. Tantri mau tidak mau merasakan bermacam
siksaan agar mau menjawab seperti
apa yang mereka
mau. Namun, Tantri
berkeras menggeleng. Dia sama sekali tidak tahu apa-apa.
Setelah seminggu dalam sekapan, seorang
tentara yang mengidolakan Tantri menyelundupkannya
keluar. Seluruh seniman di Indonesia sedang di sweeping oleh TNI karena dituduh berkaitan
dengan Lekra.
***
“Mbah mbenjing saget tumut kula ten pendapa?15
Jati menemui simbah di
samping rumah. Lelaki
tua itu memandang
bingung. Tetapi tetap berdiri dan mengiyakan. Tanpa simbah tahu Jati sebenarnya sudah bisa
memaafkan meski butuh waktu lama.
Jati sadar bahwa bukan salah simbah, tetapi
kesalahpahaman yang membuat semuanya menjadi hitam
dalam sejarah.
Lelaki tua itu terduduk, tangannya
membekap mulut. Wajahnya
meriakkan kaca-kaca. Di pendopo
itu telah lengkap gamelan calung dan pemainnya. Serta tiga orang berdiri
lengkap dengan kostum tari. Jati
menuntun simbah ke dalam. Di sana
telah tersedia sepaket lengkap pakaian tari.
“Monggo Mbah diagem.
Jati kepingin mirsani
Simbah nari16”.
Kata-kata Jati menjadi
pemicu air mata yang jatuh dari mata tua lelaki itu. Ada haru yang tersirat dari tetes-tetes air mata itu.
Sore itu Tantri kembali hadir dalam balutan kostum penari.
Menarikan babak-babak lengger dengan gemulai. Telah puluhan
tahun tubuh itu tidak lagi bisa menari.
Rapat menyimpan identitas
diri untuk menjauh
dari kejaran para tentara. Menghabiskan hidup dengan merindukan panggung dan menjadi
penggarap lahan.
Sore itu Jati mampu mengerti
bahwa tubuh simbah adalah tubuh penari. Lelaki
yang malih rupa17 menjadi perempuan utuh saat panggung
memanggil. Tidak ada lagi laki-laki atau perempuan, yang ada hanya satu tubuh yang menyatu
bersama Manunggaling Gusti18.
Tumbu1, Jawa, wadah
dari bambu yang dianyam berbentuk kotak. Gending Sekar Gading2, Jawa, salah
satu lagu pengiring tarian Legger. Mbah3, simbah, Jawa, kakek atau
nenek.
Le4, tole, Jawa, panggilan untuk anak laki-laki.
Ngrabuk5, Jawa, memberi pupuk pada tanaman.
Slrendro dan pelog6, Jawa, bentuk laras yang dipakai
pada tembang-tembang Jawa.
Lengger7, jenis tarian
khas Banyumas yang dimainkan oleh penari laki-laki yang berdandan seperti
perempuan.
Ngibing8, Jawa, menari bersama si penari.
Gambyongan9, Jawa, salah satu babak dalam
tari Lengger yang merupakan babak
pembuka. Sesajen10, Jawa, sesaji atau persembahan yang diberikan
saat acara atau upacara kejawen. Indhang11, Jawa, roh halus.
Putune12, Jawa, cucunya.
Ebeg-ebeg13, Jawa,
salah satu babak dalam tari lengger, merupakan babak ke tiga sebelum penutup.
Apa hubunganmu karoDjoko Pekik?14, Jawa, Apa hubunganmu dengan Djoko Pekik?
Mbah, mbenjing saget tumut kula ten
pendapa?15, Jawa, Kek, besok bisa ikut saya ke
pendapa? Monggo Mbah diagem,
Jati kepingin mirsani
Simbah nari16, Jawa, Mari Kek dipakai, Jati ingin melihat kakek menari.
Malih rupa17, Jawa, berganti wajah.
Manunggaling Gusti18, Jawa, Tuhan Yang Maha Esa.
0 comments