Pantaskah aku bertanya perihal benarkah ini
cinta saat bahagia hanya miliknya tanpa aku ada di dalamnya. Salahkah jika aku
bilang ini hanya asmara berbalut entah apa jika segala yang tertera hanyalah
palsu belaka. Bukankah seharusnya bahagia adalah milik berdua bukan hanya satu
pihak saja?
Tapi entah bagaimana aku selalu mengatakan
bahwa aku baik-baik saja. Dibalik semua resah, gelisah, duka. Aku selalu bilang
bahwa aku baik-baik saja. Meski dalam malam-malam aku habiskan waktu dengan
menangisi hidupku yang hampa.
Apa benar aku mencintainya, ataukah hanya
sekedar mempertahankan entah apa. Jika semua yang aku punya sudah aku serahkan
untuknya dan aku masih belum bisa bahagia?
Ataukah aku sudah mati rasa. Berbilang tahun
mencoba menuruti semua maunya. Menekan semua ego untuk bisa memuaskannya. Dan semua
tak pernah cukup, segala yang sudah aku usahakan untuk membuatnya bahagia.
Aku harus bagaimana. Jika saat-saat
bersamanya justru membuatku tertekan dan menahan duka. Hanya bisa tertawa saat
tak lagi ada dia di sekeliling. Hanya bisa menikmati waktu saat benar-benar
sendiri tanpa pantauannya.
Ataukah memang sejatinya aku sudah mati dalam
arti sebenarnya. Bukan kehilangan nyawa, tapi kehilangan diri. Dia yang sedari
dulu berusaha memupus semua mimpi. Membunuh satu-persatu hingga tak lagi
bersisa kini. Bukankah mereka yang mati adalah mereka yang kehilangan mimpi?.
Sampai saat ini aku masih bisa terus
berpura-pura bahagia. Menampakkan wajah ceria di depan semua. Menunjukkan bahwa
semua baik-baik saja. Tapi aku sungguh lelah. Lelah dengan semua sandiwara. Tak
mudah untuk selalu terlihat baik-baik saja.
Lalu bolehkah sekali ini aku bilang bahwa aku
tidak baik-baik saja?. Mungkin dengan begitu aku bisa merasa lega.
ReplyDeleteRumit kisahnya..
😢😢😢
ReplyDelete