Kemarau
menyisakan candu, pada hujan yang lama dirindu
Kelopak-kelopak
mati suri, menanti rinai yang datang membumi
Di sudut
hati terapal sesal yang kian membuntal
Tercetak
sendu dari keinginan untuk bertemu
Tunggu aku,
kekasihku
Akan
kusucikan khianat yang pernah tertancap
Tunggu di
batas kemarau yang mengeringkan sedan
Kita bertemu
saat gerimis fajar dengan bunga-bunga yang tergelar
***
Kepel tangkas meloncat dari satu dahan ke
dahan lain. Sesekali berhenti mengambil nafas lalu kembali meloncat. Kemampuan
berburu yang dia miliki sangat membantu dalam kondisi seperti ini. Setelah lama
tak pernah dilakukan, kali ini kembali dipakainya baju berburu buatan ayahnya.
Kemben dan jarit dia tinggalkan, tak cocok untuk keperluannya. Busur dan panah terikat di punggung, matanya
awas, mengamati setiap jengkal.
Misinya kali ini sedikit berbahaya. Demi
keselamatan hutan dan suami, dia terpaksa harus menumpas sendiri Toktok Kerot, raksasa
perempuan yang berniat mengambil alih hutan. Sudah tugasnya untuk menjaga warisan
dari ayah dan ibu yang sangat dia sayangi. Adanya Toktok Kerot di sana akan
membahayakan seisi hutan dan tempat pesarehan
ayah dan ibunya yang suci.
Tugas pertamanya untuk menjauhkan Panji, sang
suami sudah dia lakukan. Meski dengan cara yang tidak dia inginkan. Yang
terpenting saat ini Panji tidak berada di sini dan jauh dari jangkauan Toktok
Kerot.
***
Setelah beberapa jam menyisir hutan, Kepel
akhirnya menemukan persembunyian Toktok Kerot di sebuah lembah tak jauh dari
air terjun sebelah selatan. Perlahan didekatinya raksasa itu. Busur siap di
tangan.
“Wahai anak kecil, untuk apa kau kesini?”, Kepel
hampir saja terpeleset karena kaget dengan suara Toktok Kerot yang menggelegar.
Perlahan Kepel meloncat turun dari atas dahan pohon tempatnya berpijak.
“Ngapunten
Nyai saya sudah mengganggu istirahat Nyai”, Kepel perlahan mengatupkan tangan
di depan dada sebagai salam. Bertindak sangat hati-hati namun tetap awas akan
apa yang akan terjadi. Di tangan kirinya busur tergenggam siap untuk digunakan
jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Dengan santun Kepel mendekat ke arah Toktok
Kerot. Berusaha membicarakan apa yang diinginkan oleh raksasa itu. Mencoba memberi
solusi bagaimana agar keseimbangan hutan tidak terganggu. Namun Toktok Kerot
menolak dan langsung menyerang Kepel dengan ganas. Sigap Kepel meloncat
beberapa meter ke belakang. Bersiap menerima serangan selanjutnya. Sebenarnya mudah
saja bagi Kepel untuk menumbangkan Toktok Kerot jika jaraknya agak jauh. Kemampuan
memanah Kepel di atas rata-rata. Sekali tembak panah akan menancap tepat
diantara kedua mata Toktok Kerot begitu saja. Namun kali ini jarak yang terlalu
dekat memaksa Kepel bertarung dengan tangan kosong. Mencoba melindungi diri dan
mencari celah untuk bisa menyaru jarak untuk melepaskan tembakan.
Selang beberapa lama, Toktok Kerot yang murka
karena serangannya selalu mampu ditangkis dengan mudah oleh Kepel mulai
kehabisan tenaga. Badan yang besar menguras tenaganya lebih cepat dari yang dia
kira. Saat itulah Kepel langsung meloncat ke atas dahan dan mencari jarak yang
tepat untuk membidik Toktok Kerot.
Toktok Kerot yang murka bertambah murka
dengan menghilangnya Kepel secara tiba-tiba, tak menyadari sebatang anak panah
mengarah tepat ke arahnya dan menembus dada kirinya seketika. Suara berdebum
sangat keras terdengar saat Toktok Kerot roboh sambil memegangi dada. Kepel tak
beranjak dari tempatnya beberapa saat. Kemudian turun perlahan, mendekat ke
arah Toktok Kerot untuk memeriksa kondisinya. Dipegangnya pergelangan tangan
sang raksasa untuk memastikan tak ada lagi denyut nadi di sana. Lalu beranjak
pergi dengan segera.
***
Kepel memastikan tak ada lagi ancaman untuk
hutan tempatnya tinggal. Paringga Nabastala harus bersih dari segala gangguan.
Sejenak dia tertegun berdiri di depan pusara ayah dan ibunya. Pamit pada mereka
dan juga seluruh isi hutan yang dia sayangi. Sudah waktunya untuk pergi.
Menjemput suaminya kembali. Meski dia tahu mungkin tak akan pernah mudah untuk
bisa menemukan suami di dunia yang tak pernah dia kenal. Tapi hati dan
pikirannya sudah mantap.
Lalu dengan tangkas busur dan panah
disampirkan di punggungnya. Satu buntalan berisi pakaian dan persediaan makanan
juga diletakkan di tangan kanannya. Kepel siap pergi. Dengan gesit Kepel
meloncati dahan-dahan pohon. Melampaui jarak dengan kecepatan angin, hasil dari
latihan-latihan yang dilakukan bersama ayahnya dulu.
Sesaat sebelum tiba di batas hutan.
Langkahnya terhenti saat melihat kidang angin melaju dengan anggun ke arahnya.
Menunduk memberikan ucapan selamat tinggal pada tuannya. Kepel membelai pelan
jalinan tanduk rumit di atas kepala kidang angin. Memberikan perintah untuk
tetap tinggal dan menjaga hutan, menggantikan tugasnya selama pergi. Kidang
angin mengangguk dan bersimpuh di depan Kepel. Menundukkan kepala sebagai tanda
hormat. Kepel memandang sekilas. Lalu kembali dengan gesit berlari menuju batas
hutan. Bersiap menjelajah dunia luar.
***
Sekejap Kepel dikejutkan dengan pandangan
matanya yang menangkap serumpun anggrek hitam berputik emas di salah satu pohon
jati yang dia lalui. Heran, bagaimana bisa tanaman endemik Paringga Nabastala
bisa ada di sana. Sepengetahuan Kepel bunga ini tidak akan ditemui di tempat
lain selain di Paringga Nabastala. Demikian yang diberitahukan oleh ayahnya
saat masih hidup. Karena anggrek hitam itu adalah bunga langit yang dikirim
Mahadewa sebagai hadiah untuk ibu Kepel.
Disentuhnya perlahan bunga itu. Memetik
sebuah dan diselipkan pada ikatan rambut. Mengenang janjinya dengan Panji, sang
suami saat mereka menikah dulu. Lalu dilanjutkannya perjalanan.
Kepel sempat bingung akan kemana arah yang
diambil. Dia benar-benar buta dengan dunia luar dan tak tahu menahu tentang
jati diri Panji. Sampai dilihatnya kembali serumpun anggrek hitam itu di salah
satu pohon. Dia yakin itu adalah tanda yang ditinggalkan oleh Panji untuknya.
Kembali bersemangat, Kepel mulai memacu langkah menemukan kembali anggrek hitam
di sepanjang perjalanan.
***
Entah sudah berapa hari berlalu. Kepel masih
belum menemukan apa yang dia cari. Sudah beberapa desa dia lalui. Persediaan
makanan yang dibawa sudah hampir habis. Meski Kepel tak memusingkan masalah
makanan, tapi berkelana seorang diri tanpa arah yang jelas membuatnya semakin
gelisah. Setiap orang yang dia temui selalu mengatakan tidak mengenal suaminya.
Kepel berhenti di salah satu lembah setelah
dua minggu berjalan. Dicarinya pohon rindang tempatnya beristirahat. Dengan
cekatan Kepel memanjat pohon itu dan memilih salah satu dahan untuk tempatnya
tidur. Busur dan panah dia letakkan di salah satu ranting beserta dengan
buntalan kainnya. Baru saja hendak memejamkan mata, Kepel dikejutkan dengan
suara seorang perempuan yang bersenandung. Kepel mengintip dari balik
daun-daun. Nampak seorang perempuan tua sedang berjalan menggendong kayu di
punggungnya. Merasa aman, Kepel perlahan turun dari atas pohon dan menemui
perempuan itu.
Mbok Rondo nama perempuan itu. Dia adalah
seorang janda tua yang tinggal tak jauh dari situ. Merasa iba dengan kondisi
Kepel, Mbok Rondo mengajak Kepel untuk singgah di rumahnya. Di sana Kepel
diberi makan dan minum, lalu beristirahat sejenak di bale bambu di salah satu
bilik yang ada di rumah itu.
Malamnya saat Kepel dan Mbok Rondo sedang
berbincang, Kepel menceritakan tentang tujuannya berkelana. Bagaimana dia
selama berhari-hari mencari dimana suaminya tinggal bukanlah hal yang mudah.
Mbok Rondo sangat sedih mendengar cerita Kepel dan bertanya siapa sebenarnya
nama suaminya. Kepel memberi tahu Mbok Rondo nama suami dan pengawal yang
selalu bersama dengan suaminya. Mbok rondo kaget bukan kepalang.
***
Esoknya Mbok Rondo meminta Kepel untuk ikut
bersamanya. Pergi jauh ke selatan desa, melewati beberapa pemukiman penduduk
dan sampai di kota besar yang ramai. Mbok Rondo baru berhenti saat memasuki
aula keraton yang dijaga para prajurit kerajaan. Kepel bingung kenapa Mbok
Rondo membawanya ke tempat ini. Apakah Mbok Rondo harus meminta pertolongan
pada pihak kerajaan untuk menemukan dimana suaminya tinggal.
Kepel memilih menyingkir dari aula. Berteduh di
bawah pohon beringin yang ada di depan aula. Menanti Mbok Rondo yang sedang
serius berbincang dengan salah satu prajurit istana. Tak lama mendekat seorang
patih kerajaan. Kepel tahu dari perawakan yang kharismatik, ikut berbincang
dengan Mbok Rondo. Lalu mereka mengiring Mbok Rondo ke dalam menuju istana.
Kepel ditinggalkan begitu saja.
Tak berapa lama Mbok Rondo keluar dengan
dikawal satu prajurit untuk menemui Kepel. Kepel menurut saja saat Mbok Rondo
menuntunnya ke dalam istana. Mengira bahwa dia dibutuhkan untuk memperjelas
laporan Mbok Rondo tentang suaminya.
***
“Akhirnya kamu datang juga Nimas, aku sudah lama menunggu
kedatanganmu”, Panji menatapnya dengan penuh rindu.
Kepel begitu terkejut, di depannya berdiri
Panji, suami yang sekian hari dia cari. Begitu terkejutnya hingga Kepel hanya
mampu tertegun di tempatnya. Terbelalak tak percaya. Mbok Rondo mendekati Kepel
dan menceritakan bahwa Panji bernama asli Panji Seputro adalah Raja dari
kerajaan Kediri.
Kepel mendekat dengan sedikit ragu. Apakah
Panji mau menerima kembali dirinya setelah apa yang dilakukan untuk membuat
Panji pergi dari sisinya. Apalagi dengan status Panji yang adalah raja. Meski
rindu membuat Kepel ingin merengkuh suaminya saat itu, namun dia tidak berani
untuk melakukannya. Hanya diam di tempat sambil menahan airmata agar tidak
jatuh.
“Kangmas
aku minta maaf sudah lancang menyakitimu saat itu. Bukan maksudku untuk
mengusirmu dari Paringga Nabastala, tapi situasi yang mengharuskanku untuk
melakukannya. Demi keamananmu”, Kepel seketika mengatupkan tangan menjura.
Dengan sigap Panji memeluk wanita yang lama
sekali ingin ditemuinya. Sungguh rindu tak mampu lagi dia bendung saat itu.
Merasakan hangat tubuh Kepel dalam pelukannya adalah mimpi yang lama dia tera.
Perlahan dibimbingnya Kepel menuju rumah ndalem
dan mendudukkannya di salah satu bangku panjang yang ada di sana.
Perlahan Panji menceritakan bahwa kesempatan
untuk bisa pergi dari hutan sudah dinantikan sejak lama. Namun Panji tahu bahwa
Kepel akan sangat sulit untuk diajak meninggalkan hutan tempatnya dibesarkan.
Maka saat Kepel melakukan tindakan yang lancang saat itu, rencana Panji untuk
pergi menjadi beralasan. Panji tahu Kepel akan menyusulnya kembali untuk
bertemu. Dengan begitu Kepel akan keluar dari hutan atas keinginan sendiri
tanpa paksaan.
Panji meninggalkan anggrek hitam berputik
emas, bunga kesayangan Kepel di sepanjang jalan. Sebagai jejak untuk Kepel
dapat melacaknya dengan gampang. Panji tahu bahwa Kepel adalah wanita cerdas
yang akan mampu melihat tanda yang ditinggalkan.
Kepel terbeliak mendengar cerita dari Panji. Bertanya-tanya
masih adakah kesempatan untuknya bisa bersama, lagi. Perlahan dilepaskan
pelukan suaminya. Dipandangi wajah yang membuatnya jatuh cinta. Perlahan
diceritakannya kejadian sebenarnya. Tentang ancaman dari raksasa perempuan yang
ingin mengambil alih hutan dan Panji. Toktok Kerot ingin memiliki Panji untuk
dirinya sendiri, meski harus menggunakan cara apapun. Maka Kepel memutuskan
untuk menemui raksasa itu dan membuatnya bertekuk lutut, kalah. Kepel meminta
maaf pada suaminya karena dia tidak jujur tentang keahlian kanuragan yang dia
punya. Dia hanya takut Panji tidak akan menyukai perempuan yang bertingkah
seperti lelaki.
Panji kaget dengan apa yang dia dengar. Tidak
disangka ternyata Kepel yang lembut dan ayu itu adalah seorang yang memiliki
kemampuan bela diri tangguh dan sanggup mengalahkan raksasa seorang diri.
Takjub. Semakin bertambahlah cinta dalam hatinya.
“Nimas,
aku minta maaf membuatmu harus keluar dari Paringga Nabastala tempatmu
dibesarkan. Aku hanya ingin memberimu kemewahan istana, aku tidak tega
melihatmu harus terus berada di hutan tanpa teman dan fasilitas yang baik. Bukannya
aku enggan untuk terus berada di sana bersamamu, namun tak pantas rasanya
seorang permaisuri kerajaan Kediri harus tinggal di tengah hutan. Rakyat perlu
tahu dan mengenal permaisuri secantik dirimu. Seseorang yang pantas
mendampingiku”. Panji kembali merengkuh istrinya lebih erat. Dadanya menghangat
dengan seketika.
“Terima kasih karena Kangmas masih percaya padaku dan mau menungguku”, Kepel memandang
suaminya dengan tatapan penuh haru. Lega, itu yang sejatinya dirasa. Segala
yang dia sangkakan ternyata hanya sebatas imajinasi tak berarti. Panji tak
pernah berkhianat atas janji yang sudah disepakati.
Karena cinta
bukan hanya tentang aksara dan kata, harus ada percaya dan pengorbanan di
dalamnya.
Keren. Lanjutkan kak hihi
ReplyDeleteini sudah end :)
ReplyDelete