BLANTERORBITv102

TENTANG HUJAN DAN KENANGAN

Wednesday, October 16, 2019
Tiba-tiba tanpa bisa kucegah kaki-kaki kecil membawaku memutar arah. Berderap dengan cepat, sembrono. Tak peduli jalanan berbatu-batu berulang kali membuat tersandung. Jatuh tanpa ampun, lecet-lecet dan berdarah tak peduli. Lari semakin cepat. Sedetik sempat terhenti langkah, terbersit sedikit tanya kenapa kaki-kaki memaksa berlari.

Lalu kusadari seperti seharusnya aroma yang kutunggu sejak lama menguar begitu saja tanpa tanda. Harum tanah basah yang aku rindukan tujuh bulan lamanya. Bahkan hujan masih belum mau menampakkan diri tapi aromanya sudah menyelubung bumi. Entah dimana hujan itu menjatuhkan diri, aku tak peduli. Yang penting musim suka cita sudah sudi mampir. Artinya paripurna sudah usahaku menunggu.

Baris-baris rinai mulai membasahiku. Kunikmati setiap sentuhan yang kurindu. Di sini, di ujung tebing tempat yang terjanji. Perlahan kuraupkan segelintir air hujan pada wajahku yang basah. Basah oleh airmata yang tumpah ruah. Meski entah apa janji yang sempat terlontar akan sepadan. Aku tak peduli akan apapun yang mungkin terjadi.

Aku peluki rintik-rintik itu perlahan. Sambil bertopang tangan. Menunggu datangnya dia yang singgah melalui hujan. Dia lelaki hujan yang kudamba. Aku yakin waktu-waktu yang habis dalam renungan dan kerinduan atas hadirnya, akan sepadan dengan apa yang dia tawarkan. Maka aku tetap di sini hingga kurasakan lengan-lengan kokohnya melindungi.

Namun hingga senja berpulang dalam gelap malam. Belum juga dia datang. Hujan bahkan sudah lama meninggalkan. Aku bingung tentang apa yang harus aku lakukan. Pergi, ataukah tinggal. Jika segala belumlah terang, bahkan untuk sekedar membuat pilihan adalah perjudian.

Aku diam di sana hingga suara-suara semesta mulai berorkestra. Gelap dengan temaram sinar bulan yang indah. Tak kupedulikan badan yang menggigil kedinginan. Akibat hujan yang memilik berjejak di sana. Sampai tak terdengar lagi satu pun suara. Aku memutuskan untuk pergi. Uuntuk apa juga menunggu yang tidak pasti. Kecewa aku rasakan perlahan masuk, membentuk sarang di relung hati yang memar.

Perlahan kulangkahkan kaki. Beranjak dari tempat terpatrinya janji. Tidak akan ada apapun jika hanya aku yang datang, dan dia memilih ingkar. Biarlah kujalani hari-hari tanpa dia lagi dalam hidupku, dalam harapanku. Aku pulang, kembali pada kesendirian.

Author

Marwita Oktaviana

Blogger, Book lover, Writing Enthusiast, A friend of a many students