Dua puluh
lima. Bukan hari atau bulan. Dua puluh lima tahun aku menunggu. Bukan waktu
yang sebentar. Menunggu selama itu bukan hanya butuh sabar ekstra, namun juga
motivasi yang harus selalu kujaga. Jangan ditanya sudah berapa kali harus
kutepikan tangis di malam-malam sujudku padaNya atas tanya, nyinyir dan segala
yang memojokkan. Aku pasrahkan segala duka lara hanya kepadaNya. Tidak ada satu
orang pun yang bisa aku percaya untuk sekedar berkeluh kesah setelah Ibu pergi
ke surga. Saat ini hanya ada Dia yang aku kirimi segala resah yang kian buncah.
Usia yang
tak lagi muda tak pernah menyurutkan asa yang lama terpendam. Aku dan suami
masih tetap berusaha untuk mendapatkan kepercayaan seorang yang bisa
melanjutkan nama keluarga. Seseorang yang akan menyemarakkan suasana rumah dan
hati kami. Berbagai macam cara dari klinis maupun tradisional sudah kami
lakukan, namun hasilnya masih nihil.
Tapi meski
demikian, aku sangat bersyukur memiliki seorang suami yang sabar dan mau
bertahan bersamaku yang belum bisa memberikan padanya keturunan. Bersyukur atas
hari-hari pernikahan yang berjalan baik. Meski terkadang ada onak-onak kecil
yang menghalang. Namun dengan kesabarannya masih bisa kami pertahankan. Tak
jarang dia memberiku motivasi mungkin tidak di dunia ini aku diberikan buah
hati. Tapi nanti di surga telah menanti.
Doa selalu
kupanjatkan kepadaNya. Agar buah hati itu segera tiba. Ingin rasanya menjadi
istri yang sebenarnya, menjadi ibu yang sebenarnya. Menjalani hari-hari
menyiapkan keperluan dan momong. Mendoakan yang terbaik untuk dia saat besar
nanti. Ingin mengalami capeknya menjadi ibu rumah tangga sejati. Entah sampai
kapan akan bisa kutemui.
Ya, mungkin
memang bukan rejekiku untuk diberi momongan di dunia. Mungkin aku belum cukup
pantas untuk bisa membesarkan seorang anak. Mungkin Tuhan memberiku kepercayaan
yang lain untuk bisa mengabdi padaNya. Aku cukup bersyukur atas karunia hidup
yang telah diberikan. Dan rejeki yang mengalir lancar sejak masa pernikahan.
Aku tatap
lagi jajaran gedung bertingkat di sekeliling rumah. Terlihat gagah. Aku
tersenyum. Melangkahkan kaki menuju salah satu bangunan untuk sekali lagi
memberikan pelajaran bagi mereka. Anak-anak tanpa ibu dan bapak yang ditemukan
dari mana saja. Anak-anak yang kusyukuri adanya, meski bukan dari rahimku. Aku bertekad
menjadikan mereka anak-anak penerus bangsa yang berbudi mulia. Meski mereka
hadir dari tempat yang tidak semestinya mereka ada.
Alhamdulillah
Allah masih sudi memberiku percaya untuk dapat mengurus nasib mereka. Anak-anak
terlantar yang tak diindahkan keberadaannya. Aku dan suamiku diberi rejeki
melimpah untuk dapat kumanfaatkan melayani mereka, anak-anak masa depan bangsa.
Anak-anakku dari rahim berbeda.
sweet kak. terharu. Tulisannya no komen lah terbaik pastinya. hhi
ReplyDeleteMakasih 😍
ReplyDeleteKeren kak, sangat menginspirasi..
ReplyDelete