BLANTERORBITv102

PRADYUMNA MAHAPATIH

Tuesday, March 17, 2020
Awal mula mengenal dunia tulis-menulis saya berkenalan dengan puisi. Puisi mostly  lebih mudah dibuat karena jumlah kata yang tidak banyak dan fokus. Meski memang harus banyak berlatih untuk bisa menulis puisi yang baik. Tapi lantas saya kepincut dengan cerpen. 

pradyumna mahapatih



Menulis cerpen memang butuh effort yang lebih banyak dari puisi. Dari menentukan tema, riset, hingga eksekusi menulis. Saya biasanya butuh waktu seminggu hingga dua minggu untuk menulis cerpen. 

Alasan kenapa pilih genre cerpen historical fiction


Waktu itu saya mencoba membuat salah satu jenis cerpen, yaitu historical fiction. Cerpen ini bertema tentang sejarah, bisa diambil dari dalam atau luar negeri. Alasan kenapa saya pilih genre cerpen ini adalah:
  • Suka dengan budaya Indonesia khususnya Jawa
  • Ikut serta mengenalkan dan melestarikan budaya Indonesia
  • Memenuhi target tugas kelas fiksi dari komunitas ODOP (One Day One Post)
Dari semua sejarah yang bisa saya angkat, saya tertarik dengan sejarah Gajah Mada dan mencoba mencari satu angle untuk saya tuliskan ceritanya. Basicnya memang kisah Gajah Mada tapi saya bumbui fiksi.

Saya menghabiskan waktu dua minggu untuk membuat satu cerpen, mulai dari menentukan tema, riset, hingga menulis. Hasilnya saya jujur nggak tahu bagus atau tidak. Ini percobaan pertama saya. Lalu saya iseng baca-baca ada lomba cerpen dengan tema bebas yang diadakan oleh Tulis.me dan saya mencoba peruntungan dengan mengirimkan cerpen saya tadi. 

Eh Alhamdulillah banget ternyata cerpen ini terpilih menjadi pemenang ke-4 lomba cerpen tingkat nasional yang diadakan oleh Tulis.me tersebut. 
Berikut cerpen historical fiction yang saya tulis:


PRADYUMNA MAHAPATIH
By: Marwita Oktaviana

Lelaki bermata tajam mengendap-ngendap di antara rimbunan pohon bambu yang tumbuh lebat di tepian sungai. Niatnya untuk semedi di atas batu besar di antara aliran tukad1 kandas sudah. Di tengah tukad terlihat seorang gadis ayu yang sedang menikmati waktu dengan berendam dalam aliran air yang menyejukkan. Ini bukan yang pertama, sudah beberapa kali dia menikmati kemolekan tubuh yang terpampang jelas di depan mata. Ritual semedi rutin ditinggalkan hanya untuk menikmati pemandangan indah yang menantang birahi

Gadis itu adalah putri dari pemilik pedukuhan tempatnya mengistirahatkan jiwa dan raga setelah peperangan merebut Bali dari kekuasaan Raja Sri Asta Asura Ratna Bumi Banten beberapa waktu berselang. Lelah yang dia rasakan setelah melawan Kebo Iwa di Banyuwangi lalu dilanjutkan dengan peperangan dahsyat melawan kehebatan Pasung Grigis yang melegenda membuat tenaga dan pikirannya terkuras.
***
Sire nike?2”.

Luh menghentikan kegiatan membasuh tubuh saat mendengar suara gemeretak dari arah rimbun bambu di atasnya. Matanya menelisik sesosok lelaki sedang mengawasinya. Membuat risih dan resah. Harusnya tukad ini adalah miliknya seorang. Terselubung dalam rimbun bambu yang mengelilingi pedukuhan. Bebas dari campur tangan orang lain selain anggota pedukuhan inti. Dia dan ayahnya. lalu siapa yang lancang mengintip ritual mandinya sepagi ini. Dengan sigap disambarnya jarik untuk membungkus tubuhnya. Lalu dalam satu tarikan nafas beberapa lompatan berhasil dia lalui. Cepat, membuat gelagapan orang yang telah lancang mengganggunya.

Lelaki itu terjerembab karena begitu terkejut dengan kedatangan perempuan dengan jarik menutup sebagian tubuhnya yang tiba-tiba. Ilmu kanuragan mumpuni yang dia miliki rupanya tak cukup kuat membuatnya mempertahankan posisi atau sekedar beranjak melarikan diri. Selapis jarik yang sedikit menutupi tubuh perempuan muda yang berdiri tepat di depannya membuat dia kehilangan fokus. Matanya menatap lapar inci demi inci tubuh indah itu. Hasrat lelakinya muncul tanpa bisa ditahan hingga menyesakkan pangkal paha. Karena malu dia menundukkan kepala. Tanpa berani memandang kembali tubuh indah itu. Meski disadari getar-getar dalam hatinya membanjir tanpa diminta.

“Mada, kaukah itu?”.

Mata perempuan itu menyipit memastikan bahwa di depannya memang Patih Amangkubumi Gajah Mada. Seorang lelaki yang telah mengambil alih Bali untuk menjadi bagian dari Majapahit. Perempuan itu tak habis fikir bagaimana mungkin seorang gagah berani yang berhasil mengalahkan Kebo Iwa yang berbadan setengah raksasa berkekuatan jauh di atas manusia normal itu bisa mempermalukan dirinya sendiri dengan mengintipnya mandi.

“Maafkan kebodohanku ini Luh, aku tidak tahu harus bagaimana meredam gejolak hati untuk datang kesini melihatmu”, ucap Gajah Mada sembari mengatupkan tangan di atas kepala. Sembah untuk Luh yang baginya lebih indah dari peremuan-perempuan yang pernah ada.

Gajah Mada sangat sulit menempatkan diri. Di hatinya entah bagaimana tumbuh cinta untuk Luh. Padahal dia telah bersumpah untuk tidak tergoda oleh wanita selama penaklukan atas tanah-tanah Nusantara. Dia sendiri yang mengikrarkan sumpah Palapa di hadapan Rajapatni Gayatri. Menyerahkan dirinya utuh dalam misi menyatukan Nusantara di bawah naungan Wilwatikta3. Namun apalah daya, cinta datang memikat tanpa diundang begitu saja.

Dengan perlahan Gajah Mada beringsut meninggalkan hutan bambu untuk kembali ke tempat seharusnya dia melakukan semedi yang tertunda. Beranjaknya Gajah Mada yang tiba-tiba mengejutkan Luh yang berdiri di depannya. Luh merasa hatinya diremas begitu kuat setelah sekejap lalu merasa berbunga atas perkataan Gajah Mada.

Sejatinya Luh pun memiliki perasaan yang sama. Kepopuleran Gajah Mada menjadi sorotan gadis-gadis seantero Nusantara, bahkan para ibu dan janda pun tak ketinggalan mengharapkan dapat bersanding dengannya. Sejak Gajah Mada datang ke pedukuhan milik sang ayah, Ki Dukuh Gedangan hatinya telah terpasung pada kegagahan dan kebijaksanaan Gajah Mada. Seorang Patih yang meski telah menaklukkan Bali namun tetap santun bersikap pada rakyat. Tidak memiliki sedikitpun kesombongan dalam dirinya. Namun Luh tahu bahwa mungkin saja baginya tidak ada kesempatan untuk itu. Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada membuatnya patah harapan.
***
“Aku tidak bisa menjanjikan apapun nanti, untuk saat ini hatiku sepenuhnya milikmu”. Gajah Mada menggenggam erat jemari Luh saat mereka menghabiskan sisa senja di tepi tukad tempat semedinya beberapa hari berselang sejak Luh memergokinya sedang mengintip.

“Aku tahu, yang penting selama kamu di sini aku sepenuhnya milikmu”. Luh memandang lelaki itu dengan tatapan mesra.

Mereka memutuskan untuk membiarkan perasaan mereka berbicara. Menghabiskan hari-hari berdua di sela-sela ritual semedi Gajah Mada. Menikmati senja di pedukuhan dengan menghabiskan waktu di tepian tukad, atau bersama-sama berlatih kanuragan.

Gajah Mada memutuskan untuk menikahi Luh Ayu Sekarini sebulan setelahnya. Dengan hanya prosesi pernikahan yang sangat sederhana. Luh menggunakan kemben peninggalan ibunya dengan hiasan kepala yang membuat Gajah Mada menelan liur memandang kecantikan yang memesona.
***
“Ada apa Luh, kamu sakit?”. Gajah Mada memijit pelan tengkuk Luh yang sedari pagi memuntahkan apa saja yang baru ditelan. Wajahnya pucat pasi. Perlahan Gajah Mada meminumkan air hangat untuk mengusir mual. Lalu membopong Luh ke kamar.

Dengan berlari Gajah Mada menemui Ki Dukuh Gedangan dan memberitahukan tentang kondisi Luh. Ki Dukuh Gedangan lantas beranjak ke kamar Luh dengan membawa seorang tabib perempuan.

Tabib itu keluar dari kamar dengan senyum mengembang. “Selamat, kamu akan menjadi seorang ayah”. Ditepuknya pundak Gajah Mada pelan.

Mendengar itu Gajah Mada langsung bersujud syukur pada Sang Hyang Widhi atas segala karunianya. Lalu beranjak menemui Luh dan memeluknya. Kebahagiaan mereka lengkap sudah.
***
“Mada”, Ki Dukuh Gedangan memanggil Gajah Mada suatu malam.

Tiang4 Paman, ada yang bisa tiang bantu?”. Gajah Mada menghaturkan sembah.

“Telik sandiku menemukan orang mencurigakan sedang mengendap-endap di pedukuhanku tadi malam. Dia membawa gulungan rontal5 dari Majapahit. Ini untukmu. Bacalah!”, Ki Dukuh berpaling setelah menyerahkan gulungan itu.

Gajah Mada segera membuka gulungan lontar, dan seketika wajahnya gusar. Berjalan mondar mandir sambil memegang dagu. Bimbang dengan berita yang tertulis dalam lontar dan bagaimana harus bersikap. Rontal itu memberikan perintah untuk kembali ke Majapahit segera. Rajapatni Gayatri sendiri yang menuliskannya.

Sumpah untuk menyatukan Nusantara menuntutnya kembali, namun dia tidak ingin lagi kehilangan orang yang sangat dicintai. Sekali sudah cukup menyakitkan, karena kebodohannya Dyah Pitaloka harus kehilangan nyawa. Haruskah kali ini dia pun akan kehilangan Luh. Apalagi saat ini dia sedang berbadan dua, yang adalah anaknya.
***
Luh mendengar datangnya rontal dari ayahnya tak lama setelah lontar itu diterima oleh Gajah Mada. Seketika itu pula dia terduduk tanpa daya. Hatinya bimbang, bagaimana harus membawa diri. Sedang dalam tubuhnya sedang berkembang janin dari Gajah Mada, buah hati mereka. Perlahan Ki dukuh Gedangan merengkuh Luh dalam pelukannya. Menularkan kedamaian dalam tiap mantra yang coba dia lantunkan. Menggenapi malam dengan kidung pemuja Sang Hyang Widhi. Menularkan kekuatan untuk bertahan, apapun yang akan terjadi nanti. Ki Dukuh Gedangan sangat faham, putrinya bukan gadis sembarang. Sedari kecil sudah dipaksa menjalani hidup dengan berat. Kehilangan ibu dan dipaksa berlatih kanuragan di usia masih sangat belia.

“Om Trayam Bhakam Ya Jamahe Sughamdin Pusthi Wardhanam Uhrwaru Kham Iwa Bhandhanat Mrityor Mukhsya Mamritat6”.

Luh merapal doa pada Sang Hyang Widhi. Memohon keteguhan hati dan terhindar dari kebimbangan untuk tiap keputusan yang akan dibuat. Lontar yang datang dari Majapahit seperti putusan hakim untuknya. Perpisahan itu di depan mata.
***
Tidak ada air mata yang tumpah. Luh sudah berpasrah pada keadaan. Dia sangat mengerti, mencintai Gajah Mada dengan semua keistimewaannya tidak akan semudah mencintai orang lain. Dia cukup tahu diri untuk menepi. Perkataan Rajapatni Gayatri adalah perintah untuk Gajah Mada. Sekuat apapun cinta mereka, Luh tahu saat berpisah sudah tiba. Dia hanya mampu menatap tajam lelaki yang sangat dicintainya itu. Timpuh7 di depannya dengan jemari menggenggam jemarinya. Mengucapkan sebuah permintaan yang membuat Luh bimbang.

“Ikutlah denganku ke Majapahit, biarkan aku melihat anakku lahir dan tumbuh di dekatku”. Gajah Mada masih berusaha membujuk Luh untuk ikut kembali bersamanya. Meski dalam hati dia sangat tahu bahwa tempat Luh adalah di sini.

“Pergilah Mada, raga8 tahu persis apa yang aku inginkan”. Luh meremas kuat jemari Gajah Mada, lalu beranjak meninggalkannya begitu saja.

Gajah Mada sigap berdiri dan menarik Luh dalam pelukan. Lama. Tahu ini mungkin terakhir kalinya mereka bertemu. Luh tidak akan meninggalkan Bali hanya untuk bertemu dengannya. Sebesar apapun cinta yang ada di hati Luh untuknya.

Pelukan itu merenggang saat terdengar kidung mulai didendangkan oleh ratusan burung yang melintas di atas kepala mereka. Perlahan Luh beranjak, pergi tanpa menoleh lagi. Baginya sekali Gajah Mada pergi selamanya mereka tidak akan bertemu lagi. Luh sudah cukup dengan kebersamaan mereka selama empat bulan ini. Cintanya terbalas, itu saja. Tapi dia tahu betul sebesar apapun cinta yang dia miliki tidak akan mampu menahan Gajah Mada pergi. Majapahit adalah jiwanya. Cepat atau lambat perpisahan akan terjadi. Luh mengerti meskipun Gajah Mada mengajaknya pergi bersama, tapi mereka tidak akan lagi sama. Di Majapahit Luh tidak akan menjadi siapa-siapa bagi Gajah Mada. Ambisinya untuk menyatukan wilayah Nusantara dalam genggaman Majapahit adalah yang utama, ditambah sumpah yang diucapkan sudah seperti mantra yang menolak semua hal yang memberatkan langkah Gajah Mada. Luh tahu dengan ikutnya dia ke Majapahit hanya akan memberatkan langkah Gajah Mada. Dia tidak ingin itu terjadi.

Maka disimpannya semua kenangan yang telah terlewat erat-erat dalam hatinya. Nanti bersama dengan buah hati yang masih dalam kandungannya akan dilewatinya hari-hari tanpa Gajah Mada di sisinya. Cukup sudah. Dia akan bahagia dengan segala kenangan, dan seorang bocah yang akan menggantikan peran Gajah Mada untuk menemaninya melewati sisa hari. Setelah ini hati akan dia tutup rapat.
***
Seorang lelaki berjalan dengan gugup melewati purawaktra9. Matanya menyapu bersih bangunan istana yang membentang di depannya, terperangah. Di sampingnya seorang prajurit memperhatikan tingkahnya dengan senyum dikulum.

“Percepat langkahmu anak muda, pekerjaanku masih banyak”.

Lelaki itu bergegas mempercepat langkah. Di genggaman tangannya sebuah rontal dipegang begitu erat, semacam sertifikat jaminan untuk keamanannya datang ke sini.

Mereka tiba di Bale Manguntur10 setelah beberapa saat berjalan. Prajurit itu langsung menghadap pengawal yang menjaga di sana.

“Tunggulah sebentar, dia akan segera tiba, aku harus kembali ke tempat jaga”.

Lelaki itu kemudian asal bersimpuh di sudut. Menyembunyikan diri dari tatapan para pengawal yang terlihat curiga melihatnya.

Seorang lelaki bertubuh gempal keluar dengan langkah panjang-panjang. Menarik paksa sang lelaki dan memeluknya erat. Airmata menetes tanpa disadari di matanya. Rindu itu bergejolak memenuhi dada. Sesak. Tigabelas tahun bukan waktu yang sebentar.

“Anakku, akhirnya kamu datang juga, aku sudah menunggumu sejak lama”. Gajah Mada melepas pelukan dan memandang lelaki itu, anaknya bersama Luh Ayu Sekarini yang saat  ini ada di hadapannya.

“Ayah tahu ini aku?”. Arya Bebed mengusap ingus dari hidungnya. Bahagia.

“Tentu saja, kamu sangat mirip dengan ibumu, bagaimana kabarnya sekarang?”. Gajah Mada menuntun Arya Bebed untuk berjalan bersisian menuju kediamannya di istana. Sepanjang jalan itu perbincangan mengalir begitu saja. Arya Bebed sangat gembira dapat bertemu dengan sang ayah. Dengan begitu janji ibunya sudah paripurna, mengirim sang anak kembali ke Majapahit untuk hidup bersama sang ayah. Itu adalah wujud cinta paling dalam yang bisa ibunya berikan.

___________________________________________________________________________
Tukad1 , Bali, sungai
Sire nike?2, Bali, siapa kamu?
Wilwatikta3, Nama lain Majapahit
Tiang4, Bali, Saya
Rontal5, Jawa Kuno, berasal dari dua kara ron yang berarti daun, merupakan lembaran daun tal yang digunakan sebagai alat mencatat
Om Trayam Bhakam Ya Jamahe Sughamdin Pusthi Wardhanam Uhrwaru Kham Iwa Bhandhanat Mrityor Mukhsya Mamritat6 Sansekerta, Oh Sanghyang Widhi Wasa, Yang Maha Mulia. Kami Memujamu, Hindarkanlah Kami Dari Keraguan Ini. Bebaskanlah Kami Dari Belenggu Dosa, Bagaikan Mentimun Lepas Dari Tangkainya, Sehingga Kami Dapat Bersatu Denganmu.
Timpuh7, Jawa, duduk bersimpuh
Raga8 , Bali, kamu
Purawaktra9, pintu gerbang utama Majapahit
Bale Manguntur10, Balairung Majapahit

Demikian cerpen yang saya tulis. Teman-teman menikmatinya?
Jangan lupa krisannya saya tunggu ya sebagai perbaikan ke depan. Sampai jumpa di cerpen-cerpen saya yang lain.



Author

Marwita Oktaviana

Blogger, Book lover, Writing Enthusiast, A friend of a many students