BLANTERORBITv102

PERUBAHAN IKLIM DI SEKITARKU

Thursday, April 21, 2022

Perubahan iklim di sekitarku

 

"Mestine tanggal 23 sesuk".

"Enak wae mesti tanggal 27 podo karo tanggal lairku".

Menebak kapan hujan turun pertama kali di tahun tersebut sudah menjadi permainan tahunan yang menyenangkan bagi kami saat masih belia dulu. Hanya dengan hadiah beberapa tusuk tebu saja bagi siapa yang tepat menebak kapan hujan pertama turun sudah membawa semacam ekstase pada kami. Tetapi itu hanya permulaan, setelahnya kegembiraan tak lepas-lepas dari wajah kami saat hujan turun lebih lebat, dan lebih banyak. Karena permainan-permainan masa kanak-kanak kami lebih seru dilakukan sambil hujan-hujan.

Memang, dulu mudah sekali menebak musim. Musim hujan dan kemarau tidak pernah luput datang enam bulan sekali. Kemarau biasanya mulai di bulan Maret dan memuncak di Juli atau Agustus, dimana semuanya nampak kering kerontang dan tanah merekah retak saking panasnya. Lalu musim hujan akan mulai di bulan ke-sepuluh, bulan favorit saya. Saat itulah musim tanam padi dimulai.

Tapi itu dulu. Sekarang pemanasan global telah memicu krisis iklim di muka bumi. Ada banyak hal yang terjadi, mengancam jiwa manusia dan makhluk bumi ke depannya. Meski ancaman itu datang tak lain dan tak bukan karena keserakahan manusia juga.

Perubahan iklim apa saja yang saya rasakan?

Benar awalnya saya juga tidak begitu aware tentang perubahan iklim yang digembar-gemborkan di media. Saya hanya merasakan hawa yang lebih panas dari tahun-tahun sebelumnya. Tidak juga ada bayangan bahwa sebenarnya bumi yang saya tinggali ini sedang sekarat. Tapi hal itu berubah di tahun 2019 lalu dimana efek perubahan iklim mulai kami, saya dan warga desa merasakan dengan jelas di depan mata. 

>> Debit sungai Bengawan Solo menurun drastis <<
Di tahun 2019 itu saya ingat betul, kemarau seperti enggan pergi dari bumi. Hampir setahun tidak ada hujan sama sekali. Tanah-tanah sawah retak-retak. Cuaca begitu panas baik di siang maupun malam hari. Dan di tahun itu saya menyaksikan sungai Bengawan Solo yang mengalir di belakang rumah saya kehilangan debit airnya, makin lama makin banyak. Sampai di beberapa wilayah benar-benar habis tak bersisa, menyisakan tanah retak-retak selebar lapangan bola yang dipakai anak-anak bermain saat sore tiba. 

Sungai Bengawan Solo mengering
Debit air Bengawan Solo menyusut drastis di tahun 2019 akibat kemarau panjang
Sumber: klikjatim.com

Padahal selama saya hidup sungai Bengawan Solo itu tidak pernah menunjukkan wajah kering sampai seperti itu.  Biasanya kami, warga sekitar tidak pernah cemas memikirkan sumber air untuk keperluan sehari-hari dan irigasi sawah. Tetapi di tahun itu kami kelimpungan mencari sumber air, hingga harus merogoh kocek dalam untuk membeli dari tangki-tangki air yang datang dari luar daerah. Kelangkaan air ini memicu banyak masalah, baik dari segi ekonomi maupun kesenjangan warga. Mereka yang memiliki sumur-sumur baik galian maupun bor masih bisa sedikit bernafas lega karena hanya membeli air untuk keperluan minum atau memasak. Lain lagi yang tidak memiliki sumber air di rumahnya, mau tidak mau harus beli.

 

Sungai Bengawan Solo mengering
Sungai Bengawan Solo kering akibat kemarau panjang di tahun 2019
Sumber: Tempo.co

Saya mendengar banyak pertengkaran, gunjingan yang melebar antar warga dan membuat kerukunan di desa menjadi keruh. Beberapa warga yang memiliki sumur tidak mau berbagi dengan warga yang lain, bagaimana mau berbagi wong untuk keperluan sendiri saja masih kurang. Benar, selain debit air Bengawan Solo berkurang drastis, sumber air tanah pun mengalami penurunan yang berarti. 

Akan tetapi menyusutnya sungai Bengawan Solo ternyata tidak melulu menimbulkan kesulitan dan penderitaan pada warga. Di tahun itu pula dampak debit air yang menurun ditemukan perahu baja sebanyak tiga buah di dasar sungai Bengawan Solo. Setelah diteliti, perahu-perahu baja itu adalah peninggalan perang dunia II dimana saat itu digunakan Sekutu untuk menyerang Jepang yang memang sedang menguasai Indonesia. Tetapi perahu baja yang sekaligus digunakan sebagai moving bridge itu sengaja ditenggelamkan untuk mencegah pergerakan tentara Jepang. 

Tentu saja itu meniupkan euforia pada warga. Perekonomian bergeliat kembali dari warga yang berjualan, menyediakan jasa parkir, atau jasa tour guide bagi warga luar daerah yang menonton proses penarikan perahu-perahu baja itu dari dasar sungai.

Pengangkatan perahu baja di sungai bengawan solo Lamongan
Proses pengangkatan perahu baja dari dasar sungai Bengawan Solo Lamongan
Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id

Sejenak warga bisa melupakan kesedihan karena harus mengeluarkan uang cukup banyak hanya untuk kebutuhan air saja. Desa Karanggeneng, desa tempat saya lahir, menjadi sangat terkenal saat itu dan banyak didatangi baik warga daerah luar yang penasaran tentang perahu baja, maupun dari pemilik kepentingan, baik dari sektor pemerintah, maupun swasta. Saat itu saya pun terimbas euforia dengan mengikuti proses pengangkatan perahu baja tersebut.

Perahu baja
Perahu baja yang berhasil diangkat dari dasar sungai Bengawan Solo
Sumber: faktualnews.co

Saat ini perahu-perahu baja itu sudah disimpan di museum sebagai bahan untuk pembelajaran. Tetapi cerita tentang debit air Bengawan Solo yang menyusut tidak terhenti di situ saja. Beberapa hari pasca perahu-perahu baja itu diangkat, ada berita duka yang membungkus kembali euforia warga dengan tangis. Salah seorang remaja tetangga saya meninggal tenggelam di sungai itu ketika bermain bersama teman-temannya selepas bermain bola di suatu sore yang cerah.

Kalau diingat-ingat tahun 2019 dan sungai Bengawan Solo yang kering itu begitu membekas pada ingatan saya. Oleh sebab itu saya sempat menuliskan cerita pendek yang terinspirasi dari tragedi tersebut. Cerita pendek tersebut dimuat di koran Solopos Minggu, 5 Januari 2020. Cerpenya bisa dibaca di sini.

Cerpen Tulah Kemarau di koran Solopos
Cerpen dimuat di Solopos
Sumber: dokumen pribadi


Hal yang bisa dilakukan sebagai mitigasi agar keringnya sungai Bengawan Solo tidak kembali terjadi sebenarnya bisa kita, saya dan semua warga yang hidup di bantaran sungai lakukan. Misalnya saja tidak membuang limbah, baik itu limbah organik, maupun anorganik ke sungai. Mengusahakan untuk mengeruk daerah aliran sungai agar tidak dangkal. Meskipun sebenarnya ini sudah dilakukan di daerah saya hampir setiap hari. Tanah liat dari sungai Bengawan Solo itu diambil untuk dibuat sebagai gerabah, baik genteng, cobek, wajan, dan yang lain. Tetapi mungkin di daerah lain tidak. Sungai yang dangkal memang membuat debit air mudah habis saat kemarau. Juga menanam pepohonan di sekitar sungai, selain membantu dalam penyerapan air hujan juga akar pohon berfungsi untuk menahan tanah agar tidak longsor. Dengan begitu daerah aliran sungai tidak cepat mengalami pendangkalan.


>>Musim yang tidak bisa ditebak<<

Perubahan iklim selanjutnya yang saya alami adalah begitu jelasnya terlihat peralihan musim yang sulit diprediksi. Mungkin bagi mereka yang hidup di kota tidak benar-benar bisa menyaksikan dampak yang berarti, tetapi bagi kami, saya dan warga di desa perubahan musim yang tidak konsisten tersebut begitu jelas terlihat.

Peralihan musim di desa itu dipakai sebagai patokan terhadap musim tanam. Menanam apa esok, padi kah, kacang hijau kah, jagung kah, atau buah-buahan semacam semangka. Semua ditentukan dari musim yang akan datang. Biasanya di desa saya musim tanam dalam setahun ada 3 kali. Dua kali tanam padi dan sekali tanam tanaman selingan. Tanaman selingan bisa bermacam-macam, ada yang suka menanan kacang hijau, ada yang suka jagung, atau ada yang suka buah-buahan, bisa semangka, melon, salmon atau yang lain. Padi ditanam saat masuk musim penghujan sampai menjelang musim kemarau. Sedangkan tanaman selingan biasanya ditanam saat musim kemarau dengan tanaman yang tahan panas dan tidak memerlukan air yang banyak.

Tentu saja ketidak-konsistenan perubahan musim ini berdampak pada para petani. Ketika tahun 2019 terjadi kemarau panjang. Kami hanya bisa menanam padi sekali saja, yang kedua hampir semua mengalami gagal panen akibat kurangnya air dan serangan hama. Tetapi petani diuntungkan dengan tanaman selingan yang tumbuh subur saat kemarau panjang tersebut. Boleh dikata tanaman selingan itulah laba dari petani, apalagi yang sawahnya hanya tanah sewa. Seperti semangka misalnya, memang biaya produksi yang dibutuhkan cukup besar karena bibitnya mahal, tetapi jika berhasil panen, keuntungan yang didapat bisa berkali lipat keuntungan dari menanam padi.

gagal panen padi akibat kemarau
Gagal panen padi akibat kemarau panjang
Sumber: mediaindonesia.com

Jadi baiklah, mungkin memang di sebagian besar wilayah merasakan banyak penderitaan akibat kemarau panjang. Tetapi di desa saya ada kebahagiaan kecil dari laba tanaman selingan yang panen dengan sukses. Itu mungkin menjadi kali terakhir kegembiraan panen petani pada tanaman selingan.

panen salmon
Panen salmon
Sumber: dokumentasi pribadi

panen semangka
Panen semangka
Sumber: dokumentasi pribadi

Tahun berikutnya, sampai saat ini justru curah hujan melimpah yang membuat petani ketar ketir. Saya sudah mengatakan di atas, bahwa laba petani itu biasanya dari tanaman selingan. Tetapi karena hujan turun tanpa bisa dipresiksi, petani menjadi serba salah. Saya pun mengalami hal yang sama. Saya ingat betul tahun 2020 menjelang waktu tanam semangka, kalau tidak salah bulan Mei kami sudah bersiap dengan benih semangka yang direndam air hangat semalaman untuk ditanam esok paginya di sawah. Proses tanam berlangsung dengan lancar sampai minggu ke-2 semangka mulai menampakkan kecambahnya dan berdaun satu dua. Kami cukup gembira karena nyaris semua bibit yang kami tanam berhasil tumbuh dengan baik. 

Sawah desa

Sawah desa
Gambar 1 sawah desa yang sudah bisa ditanami padi, sementara gambar 2 kondisi sawah yang terendam air dan tidak bisa ditanami padi. Air meluap karena saluran irigasi tidak mampu menampung debit air hujan yang melimpah. Meski sudah berusaha memompa air dari sawah memakai pompa besar, tetap saja tidak teratasi selama saluran irigasi masih penuh air.

Tetapi kegembiraan itu musnah seketika saat di akhir bulan Mei justru hujan turun dengan sangat deras. Perlu diketahui, semangka itu tanaman yang sangat peka pada air. Ketika masih muda dan diguyur hujan deras sampai tergenang sudah bisa dipastikan tanaman tersebut akan mati. Tentu kami bersedih, tetapi hidup harus tetap berjalan bukan. Jadi kami menunggu 2 minggu, apa hujan masih akan turun lagi. Setelah 2 minggu hujan tidak lagi turun kami bersiap menanam semangka lagi, dengan bibit baru, biaya baru. Namun harapan kami lagi-lagi terhempas ketika hujan kembali turun dan mematikan tanaman semangka kami.

Gagal panen semangka karena terendam air
Gagal panen semangka akibat terendam air
Sumber: detiknews.com
Bisa ditebak, kami bangkit kembali, tetapi bukan untuk menanam semangka. Padi, kami beralih harapan untuk menanam padi karena menganggap musim hujan sudah datang. Jadi sawah-sawah mulai dibajak, dan butir-butir benih padi ditanam. Berharap musim tidak lagi mempercundangi kami. Tapi kami salah besar, hujan enggan turun lagi. Dan tanaman padi kami butuh air untuk bisa tumbuh. Jadi mesin-mesin diesel besar mulai dihidupkan untuk menyalurkan air dari Bengawan Solo ke lahan pertanian. Uang kembali harus kami rogoh dalam-dalam.

Tahun itu saya ingat menjadi tahun terburuk bagi petani. Warga desa yang mayoritas bekerja sebagai petani mengalami paceklik. Benar-benar berat, dilema antara ingin melanjutkan bertani atau benar-benar berhenti. Jika berhenti, apa yang bisa dipakai untuk makan nanti, jika lanjut takut musim akan mempercundangi lagi dan kerugian menjadi berlipat-lipat.

Tetapi kami yakin Tuhan selalu ada bagi hambanya yang berusaha. Kami bangkit lagi meski tertatih. Sawah kembali ditanami meski untuk biaya harus berhutang dulu. Dan doa kami didengar, tahun kemarin saat musim tanam semangka, kami mulai bisa menikmati hasil panen yang bagus. Di desa tetangga bahkan festival panen raya semangka digelar kembali dengan sangat meriah sebagai wujud syukur atas melimpahnya hasil panen tahun itu.

festival panen semangka Desa Latukan Lamongan
Festival panen raya semangka desa Latukan Lamongan
Sumber: tribunnews.com

Untuk musim yang tidak bisa diprediksi saat ini, jujur saya tidak tahu bagaimana dan apa yang harus dan bisa saya lakukan agar tidak terjadi. Mungkin dengan melakukan hal-hal yang menambah pemanasan global saja yang saya jelaskan di bawah. Untuk yang masiv saya belum kepikiran :)

>>Air tanah berkurang<<

Kondisi ini mungkin dialami tidak hanya saya dan warga desa. Di lingkungan lain pun mungkin juga mengalami hal yang sama. Tetapi perbandingan masa dulu dan sekarang memang jelas terasa sekali bagi saya, bagi kami yang sudah hidup puluhan tahun di sini. Sumber air di desa tempat saya tinggal sekarang mayoritas dari memanfaatkan air tanah. Baik itu berupa sumur biasa maupun sumur bor. Dan dari telaga-telaga yang banyak tersebar di penjuru wilayah desa. Selain itu di belakang rumah warga masih banyak yang punya jublang (semacam kolam air untuk keperluan mandi atau mencuci).

Embung desa

Embung desa
Dua embung desa yang dimanfaatkan sebagai sumber air permukaan oleh warga. Saat ini penuh karena debit hujan tinggi, saat kemarau airnya berkurang drastis.
Sumber: dokumentasi pribadi

Dulu tidak pernah terjadi kekurangan air di desa. Baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk irigasi sawah. Tetapi masalah muncul akhir-akhir ini, bahkan ketika curah hujan sudah mulai melimpah. Kami mulai kesulitan mengakses air tanah. Sumur-sumur biasa akan mengering saat musim kemarau karena sumur itu hanya bergantung dari air resapan hujan. Bahkan untuk sumur bor biasa pun masalah terjadi tidak hanya di satu rumah tetapi nyaris semua. Saya dan warga desa banyak yang kemudian rela menukar istirahat malam untuk menjaga dan menyalakan pompa air agar bak mandi dan bak air terisi semua. Air yang keluar sedikit sekali dan butuh waktu lama untuk mengisi bak-bak itu. Itupun hanya keluar di malam hari, di pagi atau siang hari tidak mengalir sedikitpun.

Masalah ini makin terasa saat Lebaran tiba, dimana banyak warga yang merantau pulang kampung dan menjadikan kebutuhan air meningkat berkali lipat. Apa yang selanjutnya kami lakukan? memang ya kalau sudah kepepet akan muncul banyak jalan. Baiklah untuk mengantisipasi masalah air tersebut kami merogoh kocek dalam-dalam lagi untuk membuat sumur Sybel. Itu semacam sumur bor dengan pompa dalam dan kedalaman jauh lebih dalam dibanding sumur bor biasa. Tentu saja harga yang harus dibayar juga besar. Waktu itu saya membuatnya dengan harga sekitar 7 juta rupiah. 

Sumur Sybel dengan pompa dalam
Sumber: Dokumentasi pribadi

Karena air adalah kebutuhan pokok manusia, mau tidak mau kami, saya dan warga desa harus membuatnya. Dengan begitu kebutuhan air kami tidak lagi bermasalah. Tetapi saya tahu itu menimbulkan masalah baru bagi lingkungan. 

Jadi apa yang bisa kita lakukan agar air tanah tidak habis dan kebutuhan air bersih kita bisa terpenuhi. Banyak cara juga sih ya, misalnya saja dengan memanen air hujan melalui sumur atau lubang resapan. Tanam banyak pohon, karena akar pohon bisa menyerap air hujan lebih banyak ke dalam tanah. Tidak buang sampang sembarangan dan limbah sembarangan, jadi air permukaan tetap bersih dan bisa digunakan. Dan masih banyak lagi.

>>Banjir merajalela<<

Selepas tahun 2019 dengan kemarau panjangnya. Tahun 2020 kami, saya dan warga daerah sekitar tempat kerja dihadapkan pada musibah baru, yang juga mengagetkan kami karena tidak pernah terjadi sebelumnya. Tahun 2020 sepertinya Tuhan ingin membalas kemarau panjang tahun kemarin dengan hujan yang melimpah sepanjang tahun. Akibatnya daerah Bengawan Jero terimbas dari luapan sungai Bengawan Solo. Desa-desa yang ada di wilayah tersebut terendam banjir. Bahkan sampai masuk ke rumah-rumah warga setinggi pinggang. Memang daerah Bengawan Jero bukan termasuk daerah yang krusial dalam hal transportasi. Daerah itu bukan jalur transportasi umum.

Meski begitu akses warga kemana-mana praktis tertutup. Kalaupun ingin keluar dari desa harus berjuang melintasi banjir, bisa dengan naik Tossa (ini warga plus motor naik semua ke atas Tossa tersebut) sampai ke daerah tidak terdampak baru perjalanan dilanjutkan menggunakan motor tadi. Teman-teman kerja saya yang rumahnya ada di daerah Bengawan Jero, harus memutar arah untuk menghindari banjir. Praktis waktu tempuhnya berkali lipat dari sebelumnya. Teman saya biasanya berangkat selepas subuh agar sampai di tempat kerja sebelum jam 07.00 WIB.

Bukan itu saja, banjir yang menyerang mengakibatkan air-air tambak meluap sehingga para petani tambak merugi. Daerah bengawan Jero memang dikelilingi dengan tambak-tambak karena mayoritas warga mencari nafkah dari sektor perikanan tersebut. Ketika air meluap, praktis ikan-ikan di dalam tambak pun ambyar kemana-mana.

Banjir bengawan jero
Banjir di area tambak wilayah Bengawan Jero
Sumber: suaraindonesia.com

Ada fenomena baru dari penderitaan petani tambak tersebut, yaitu munculnya euforia mancing mania. Warga-warga dari luar daerah banyak yang datang untuk memancing, berharap mendapat pancingan ikan-ikan yang meluber dari sawah. Entahlah, saya juga tidak bisa berkomentar banyak di sini. Kenapa dalam penderitaan petani tambak justru para mancing mania tersebut bergembira.

pemancing banjir bengawan jero
Pemancing dadakan banjir Bengawan Jero
Sumber: teras7.com

Saya merasa luapan air tersebut bukan hanya diakibatkan oleh hujan yang turun sepanjang tahun dengan debit melimpah, tetapi juga diakibatkan oleh menurunnya daya serap tanah karena banyak pohon yang ditebang. Selain itu juga karena banyaknya tumpukan sampah yang menghalangi aliran air.

Banjir Bengawan Jero menjadi banjir tahunan yang terjadi di musim penghujan mulai tahun 2020 tersebut. Semakin hari semakin tinggi dengan jangka waktu semakin lama. Bahkan jalan poros Karanggeneng-Sumlaran juga terdampak banjir. Di area Pucangro yang merupakan daerah pertemuan aliran air dari banyak tempat meluap, air meluber sampai jalan raya. Tentu saja ini mengganggu transportasi. Apalagi jalan itu adalah jalan poros. Suami dan adik yang tiap hari harus lewat jalan itu untuk berangkat dan pulang kerja terpaksa mencari rute lain yang bebas banjir, meski lagi-lagi harus memutar jauh dan butuh waktu lebih banyak lagi.

banjir jalan poros Pucangro
Banjir jalan poros Karanggeneng-Sumlaran area desa Pucangro
Sumber: mediaindonesia.com

Semoga pemerintah daerah dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah segera mampu menyelesaikan banjir tahunan ini. Kalau dibiarkan saja, tidak menutup kemungkinan kelak pemukiman di Bengawan Jero tidak bisa lagi ditinggali akibat banjir yang semakin tinggi.

Banjir ini terjadi setiap tahun selama musim hujan. Pemerintah juga dibuat bingung bagaimana mengatasinya. Kalau saya lihat dan amati, banjir ini datang karena kemampuan tanah untuk menyerap air hujan sudah sangat berkurang. Mungkin yang bisa diusahakan saat ini ya memperbanyak area resapan dan menanam banyak pohon agar air hujan bisa diserap dengan maksimal ke dalam tanah.

>>Cuaca yang semakin panas<<

Kalau masalah ini saya rasa semua manusia di dunia juga merasakannya. Tetapi memang begitu terasa bagi saya yang hidup di desa. Karena tidak hanya bisa dirasakan tetapi juga bisa dilihat. Cuaca yang semakin panas berdampak pula pada tanaman dan binatang. Pada tanaman terlihat sekali, apalagi di halaman saya termasuk banyak tanaman, dan juga di samping rumah saya adalah tanah kosong yang tumbuh subur rumputnya. Saat ini ketika musim hujan sudah berlalu, meski belum puncak musim panas, tanaman-tanaman itu banyak yang layu dan mengering. Padahal dulu-dulu meski sampai puncak musim panas tanaman-tanaman yang ada di sekitar saya baik-baik saja. Paling hanya sedikit layu.

Cuaca panas juga mengakibatkan banyaknya binatang yang menginvasi pemukiman untuk mencari perlindungan. Yang saya perhatikan mulai tikus, semut, cicak, tokek, kelelawar, sampai ulat bulu mulai memenuhi rumah saat musim panas mulai menuju puncak-puncaknya. Cuaca panas juga menyulitkan petani. Karena mengakibatkan sulitnya memenuhi kebutuhan pengairan sawah dan banyaknya wabah menyerang. Baik itu wabah tikus sampai wereng. Banyak sawah yang gagal panen karena padi-padi habis diinvasi oleh tikus dan wereng tersebut. 

serangan wabah wereng
Serangan wabah wereng pada tanaman padi
Sumber: dokumen pribadi
Saat wabah tikus menyerang, banyak petani di desa yang melakukan banyak cara untuk menghilangkan wabah tersebut. Baik dengan memakai obat hama, menembak, menggencet, sampai memakai setrum listrik. Pemakaian setrum listrik ini sering membawa petaka. Memang setrum tikus lebih efektif membasmi wabah tikus, tetapi tak jarang mengakibatkan korban bagi petani. Di desa saya pernah terjadi petani yang meninggal di sawah karena terkena setrum.

setrum tikus pembawa petaka
Setrum tikus membawa pergi nyawa di pagi hari
Sumber: detiknews.com
Cuaca panas juga membuat tidak nyaman. Bahkan tidak hanya siang hari, malam pun terasa gerah sekali. Kipas angin tidak banyak membantu. Apalagi angin seperti diserap habis dan tidak berhembus. Biasanya saya, anak-anak dan suami menghabiskan waktu malam menggelar tikar di luar rumah. Berharap ada sedikit kenyamanan dari hawa yang sedikit dingin, atau angin yang sedikit berhembus.

Apa yang bisa saya lakukan...paling tidak saya menambah pepohonan di samping rumah, ada 3 pohon mangga dan 1 pohon sawo. Biar ada perindang rumahnya jadi tidak panas. Mau saya sih pohon-pohon itu juga bisa mengundang angin biar seger. Tapi entahlah ya, yang penting usaha dulu.



Sebenarnya ada banyak sekali dampak perubahan iklim yang terjadi saat ini. Termasuk diantaranya cuaca ekstrem di berbagai belahan dunia. Dampak-dampak ini kemungkinan besar akan lebih banyak lagi nampak dan membahayakan kehidupan bumi ke depannya jika kita, saya dan teman-teman masih saja tidak aware dan mau merubah kebiasaan yang menguntungkan lingkungan.

Namun beberapa hal di atas adalah dampak perubahan iklim yang nyata dan benar-benar saya rasakan saat ini. 


Berbagai macam hal penyebab perubahan iklim

Kalau diingat-ingat lagi, waktu SD dulu saya mengenal apa itu gas rumah kaca untuk pertama kalinya. Perubahan iklim yang dialami oleh bumi ini mayoritas penyebabnya memang gas rumah kaca, meski ada banyak hal lain yang juga andil di dalamnya. Kalau saya rangkum dari hasil angan-angan saya kira-kira hal-hal inilah yang menjadi andil dalam perubahan iklim saat ini.

>>Gas rumah kaca<<

Gas rumah kaca sebenarnya berguna bagi iklim bumi. Gas rumah kaca sebenarnya berfungsi seperti dinding kaca di sebuah rumah. Dimana kaca tersebut akan memblokir segala sesuatu untuk keluar dari rumah. Sama sepeti kaca tersebut, gas rumah kaca juga berfungsi untuk memerangkap panas matahari yang masuk ke bumi agar tidak keluar lagi dan membuat suhu di bumi stabil. Bayangkan jika tidak ada gas rumah kaca, bumi akan sangat dingin dan mustahil dihuni oleh makhluk hidup seperti saat ini. 

efek gas rumah kaca
Efek gas rumah kaca
Sumber: sehatQ.com

Gas rumah kaca sendiri awalnya dihasilkan dari aktivitas bumi, jadi kuantitasnya masih imbang dan stabil. Namun dengan berkembangnya cara hidup manusia gas rumah kaca terus diproduksi dari aktivitas manusia sehari-hari. Kalau ditanya apa sih gas rumah kaca itu? saya juga kalau harus menjelaskan agak-agak kurang berani. Kalau mengingat pelajaran waktu SD dulu setahu saya gas rumah kaca itu sebenarnya gas-gas yang ada di atmosfer bumi yang bertindak sebagai selimut bumi, atau pelindung bumi. Ada beberapa gas yang termasuk gas rumah kaca, antara lain: Karbon dioksida, Metana, Dinitrogen oksida, dan gas-gas berfuorinasi.

"Karbondioksida (CO2)"

Saya mau bahas dulu untuk karbondioksida (CO2). Karbondioksida (CO2) itu gas yang tidak berbau dan tidak berwarna, dia sebenarnya berfungsi menangkap panas matahari yang masuk ke bumi. Karbondioksida (CO2) dihasilkan dari banyak hal:

1. Hasil aktivitas  makhluk hidup, yang paling dasar adalah limbah pernafasan. Makhluk hidup bernafas dengan menghirup oksigen (O2) dan mengeluarkan karbondioksida (CO2)

2. Hasil pembakaran yang dilakukan manusia. Pembakaran ini ada banyak macamnya, mulai dari yang masiv seperti pembakaran bahan bakar fosil sebagai sumber energi yang dibutuhkan manusia. Penggunaan bahan bakar fosil ini banyak sekali. Mulai dari untuk menjalankan kendaraan bermotor, menjalankan mesin-mesin produksi, bahan bakar pembangkit listrik, bahkan dari pembakaran sampah.

Yang miris lagi adalah pembakaran hutan yang banyak sekali dilakukan manusia. Padahal pohon itu tugasnya menyerap karbondioksida (CO2) yang ada di udara dan mengkonversinya menjadi oksigen (O2). Dengan pembakaran hutan otomatis kita sudah membunuh filter raksasa bumi sekaligus melepaskan karbondioksida (CO2) dalam jumlah besar ke udara. Ya bisa dibayangkan bagaimana panasnya bumi tanpa pohon-pohon hijau ini. Padahal menebang pohon saja sudah sangat merugikan manusia, karena saat pohon dipotong, dia melepaskan karbon ke udara, apalagi dibakar. Asapnya juga menimbulkan dampak yang tidak sehat pada manusia, dan saya juga yakin pasti mereka yang tinggal di wilayah hutan yang biasa dibakar untuk membuka lahan pasti merasakan dampak tidak sehatnya. Tetapi itu tidak menghentikan mereka untuk terus membakar hutan.

3. Erupsi gunung berapi. Tahun-tahun ini saya dan juga teman-teman sudah menyaksikan banyaknya gunung berapi yang meletus. Seperti sudah janjian, satu gunung meletus, yang lainnya menyusul mengikuti. Erupsi gunung berapi yang memuntahkan baik lahar dingin atau lava pijar sama-sama menyumbangkan gas karbondioksida (CO2) dengan jumlah yang cukup banyak ke udara. Padahal ini hanya salah satu kejadian alami, tetapi cukup memberi sumbangan gas karbondioksida (CO2) secara signifikan.

4. Hasil reaksi kimia tertentu. Misalnya saja saat pembuatan semen. Semen memang dibutuhkan untuk kegiatan konstruksi. Pembangunan saat ini seperti melaju tanpa henti, kebutuhan akan semen pun makin banyak permintaan. Pabrik-pabrik semen didirikan di banyak tempat. Pabrik-pabrik itu selain menyumbangkan gas karbondioksida (CO2) ke udara juga mengakibatkan kerusakan di lahan bekas tambang bahan baku semen. Semoga saja nantinya akan bisa dihasilkan inovasi untuk perekat alami pengganti semen agar bumi tidak bertambah parah.

Sebenarnya gas karbondioksida (CO2) tidak berbahaya bagi tubuh jika konsentrasinya seimbang. Tetapi jika konsentrasinya meningkat akan berakibat pada kesehatan manusia, seperti pusing, sampai hilangnya kesadaran.

"Metana (CH4)"

Gas rumah kaca yang kedua adalah Metana (CH4). Metana (CH4) menyumbangkan emisi gas rumah kaca jauh di bawah konsentrasi karbondioksida. Kalau tidak salah hanya sekitar 10% saja. Namun Metana (CH4) bisa memerangkap radiasi panas matahari lebih efektif dari karbondioksida. Kira-kira 25 kalinya, meski usia hidup Metana (CH4) di udara lebih singkat dibanding karbondioksida. Ada beberapa hal yang bisa menjadi penghasil Metana (CH4) .

1. Aktivitas di bidang peternakan

Metana (CH4) dihasilkan dari proses alami pencernaan hewan. Peternakan sapi, kambing, babi pasti menghasilkan kotoran hewan yang begitu banyak. Kotoran ini secara alami menghasilkan Metana (CH4) yang dilepas ke udara. Apalagi saat kotoran hewan tersebut difermentasi untuk pengolahan energi terbarukan, dalam proses itu gas Metana (CH4) adalah produk hasil fermentasi. 

sapi menyumbang gas metana sangat besar ke udara
Sapi menyumbang metana dalam jumlah besar ke udara
Sumber: kumparan.com

Selain dari kotoran, sapi misalnya membuang sekitar 600 liter metana per hari hanya dari sendawa dan ekshalasi. Bayangkan jika dalam sebuah peternakan ada ribuan sapi. Berapa banyak gas metana yang sudah terbuang ke udara. MashaAllah.

2. Pengelolaan sampah yang tidak benar

Sampah yang ditimbun di TPA atau di tanah lapang tanpa ada sortir akan menimbulkan pula gas Metana (CH4) ini. Sampah organik busuk menghasilkan gas Metana (CH4) yang dilepas ke udara secara kontinyu. Itu sebabnya lebih baik sebelum dibuang sampah dipisahkan terlebih dahulu.

3. Hasil residu pemrosesan gas bumi.

Metana (CH4) merupakan gas pembentuk gas bumi. Saat roses produksi, pendistribusian, ataupun penyimpanan secara tidak langsung akan menyebabkan Metana (CH4) dilepas ke udara.

Sebenarnya saya sempat terpikir waktu tahu Metana (CH4) itu termasuk gas rumah kaca. Dulu waktu kuliah saya sempat memproduksi energi terbarukan berupa biofuel dari kotoran sapi. Semoga saja saat itu tidak ada gas Metana (CH4) yang terbuang keluar. Meski sedikit saya jadi merasa bersalah sudah menyumbang emisi gas rumah kaca yang bikin bumi seperti saat ini.

"Dinitrogen Oksida (N2O)"

Nah gas ketiga yang termasuk gas rumah kaca adalah dinitrogen oksida (N2O). Ingat gas ini? kalau tidak salah dulu guru kimia saya waktu SMA pernah menyebut gas ini sebagai gas tertawa. Sebabnya tak lain dan tak bukan adalah karena senyawa ini merupakan senyawa pereda rasa sakit. Tetapi saya sedikitpun tidak punya gambaran bahwa gas ini merupakan salah satu penyumbang gas rumah kaca.

Kalau dibilang gas tertawa ini pasti selalu ada di rumah sakit, dan juga NOS yang ada di mobil balap juga komposisinya dari dinitrogen oksida (N2O) ini. Kan...sebenarnya gas-gas ini juga berguna bagi manusia, tapi sekaligus juga penyumbang emisi gas rumah kaca. Jadi harus bagaimana ya kita, saya dan teman-teman ini bersikap?

Dinitrogen oksida (N2O) ini diklaim bisa menjebak panas 300 kali lebih banyak dibanding karbondioksida, dan boleh jadi lebih efektif. Jadi bukankah sebaiknya saya dan teman-teman mulai aware pada gas-gas selain karbondioksida pada langah pencegahan bertambahnya gas rumah kaca?

Darimana gas-gas itu dihasilkan dan apakah ada bahan pengganti gas itu untuk meminimalkan efek gas rumah kaca tersebut.

Bagi saya yang tinggal di desa, tentu saja menjadi sedikit was-was. Dinitrogen oksida (N2O) paling banyak dihasilkan dari reaksi pupuk yang digunakan petani untuk menyuburkan tanaman. Pupuk yang diberikan akan menstimulus mikroba tanah yang mengubah nitrogen menjadi dinitrogen oksida (N2O) tersebut. 

Kalau dipikir-pikir lagi berarti begitu banyak juga ya desa menyumbang gas rumah kaca. Kok semua aktivitas manusia jatuhnya menyumbang panas pada bumi semakin besar. Aduh...

"Gas-gas berfluorinasi"

Gas berfluorinasi..., saya kok membayangkan gas berfluorinasi itu gas yang bisa menyala dalam gelap, cantik dan memikat. Seperti kunang-kunang yang beterbangan di tanah kuburan desa saya saat malam tiba. Kebetulan beberapa malam lalu saya menemukan seekor kunang-kunang sedang terbang di tanah lapang sebelah rumah. Tumben kata saya, karena sudah lama sekali tidak terlihat.

Ternyata eh ternyata gas berfluorinasi itu gas yang dihasilkan dari proses manufaktur atau industri. Pancaran cahayanya dihasilkan saat proses berlangsung. Gasnya ada banyak macam, misalnya saja Hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC), Sulfur heksafluorida (SF6), dan nitrogen trifluorida (NF3).

Yah meski hasil gas berfluorinasi ini jauh lebih kecil dari gas-gas rumah kaca lain, tetapi secara nyata gas tersebut mampu memerangkap panas lebih banyak. Dan masa hidup di atmosfernya lebih lama dibanding gas rumah kaca lain. Ada yang bilang bisa berlangsung sampai ribuan tahun. Ngeri banget.


Nah jika ditilik lagi, memang perubahan iklim akibat pemanasan global ini tak lain tak bukan adalah karena aktivitas manusia. Aktivitas tersebut memicu munculnya gas rumah kaca berlebih di atmosfer. Bahkan dari lalainya kita melepas colokan listrik saja sudah berkontribusi dalam menambah kuantitas gas rumah kaca.

Lantas apa manusia tetap diam saja dan menunggu kehancuran dunia akibat ulahnya sendiri? saya kira tidak demikian. Beberapa dekade ini sudah marak sekali awareness terhadap perubahan iklim yang terjadi di dunia. Salah satu yang secara global dilakukan adalah ditekennya perjanjian perdagangan karbon dunia. Dimana negara yang menyumbang karbon akan membayar sejumlah uang sebagai kompensasinya. Diharapkan sih ini akan menekan emisi karbon di bumi secara signifikan.

Ada juga energi terbarukan yang gencar dipakai untuk menggantikan energi fosil. Masih terus dilakukan dan semoga semakin banyak ke depan sehingga bumi bisa kembali sehat seperti dulu lagi.

Untuk menghilangkan gas rumah kaca tentu bukan hal mudah, memang masing-masing gas itu punya keistimewaan sendiri dalam keberadaannya di atmosfer. Saya ingat dulu guru biologi saya di SMA pernah bilang, kalau hanya karbondioksida saja gampang buat menghilangkan, cukup dengan menanam banyak tanaman, gas itu akan diserap dan diproses menjadi oksigen yang dibutuhkan manusia. Tapi gas-gas berfluorinasi tidak semudah itu fergusooo....Gas ini hanya bisa mati, atau diuraikan oleh panas matahari di lapisan terluar atmosfer. Semoga saja pemanasan global ini tidak berlanjut dan menimbulkan polemik di bumi berupa perubahan iklim yang merugikan makhluk hidup..


#TeamUpforImpact, Langkah kecil saya mengurangi perubahan iklim

Apakah saya lantas diam saja melihat perubahan iklim yang terjadi di sekitar saya? tentu tidak lah temans. Bolehlah saya ini bukan siapa-siapa, tapi meski hanya ibu rumah tangga, bukan berarti saya tidak bisa berkontribusi terhadap perbaikan iklim ini. Yah dengan cara sederhana yang saya bisa. Yang tak terlihat tapi ternyata punya andil juga mengurangi pemanasan global. Kalau bisa meski sedikit, kenapa tidak gitu lo. Kan bumi ini tempat tinggal saya, kalau bumi rusak, saya mau tinggal dimana coba?

Berikut hal-hal yang biasa saya lakukan sehari-hari, yang mungkin saja bisa berdampak pada pengurangan emisi karbon atau pemanasan global.

>>Mengurangi pemakaian plastik<<

Plastik memang salah satu yang mengakibatkan kerusakan lingkungan cukup parah di muka bumi. Melihat tayangan ikan-ikan, bahkan yang seukuran paus harus meregang nyawa karena banyaknya plastik yang terkumpul di perutnya membuat saya miris sekali. Atau saat jalan-jalan ke pantai, yang dulu putih bersih saat ini jadi banyak sampah plastik yang terdampar dan merusak pemandangan. Dikit-dikit plastik. Belanja donat 1 dikasih plastik, belanja ikan bahkan plastiknya di dobel-dobel. Semua peralatan banyak yang dari plastik, semua serba plastik

Padahal plastik itu tidak mudah terurai. Butuh waktu lama sampai plastik-plastik itu bisa diurai dengan baik oleh tanah. Tetapi penggunaan plastik makin masiv, dan bumi makin kotor.

Pantai yang kotor
Pantai yang 10 tahun lalu bersih sekarang terlihat kotor penuh sampah. Pantai pelabuhan penangkap ikan Weru-Lamongan
Sumber: dokumentasi pribadi

Cara saya mengurangi plastik mungkin belum bisa dikatakan 100%, tapi saya sudah mencoba berbuat sesuatu. Misal saat ke pasar, saya lebih suka bawa keranjang besar, yang bisa menampung apa saja isi belanja saya. Selalu saya bilang tidak usah dibungkus plastik, masukkan saya langsung ke keranjang. Tidak apa-apa bercampur, toh sesampai di rumah saya selalu mencuci bersih semua sebelum saya simpan.

Bawa kantong kain kemana-mana juga ternyata cukup signifikan mengurangi penggunaan plastik lo temans. Karena sudah biasa bawa sejak masih single dulu, jadi terbawa sampai sekarang. Kalau-kalau di jalan pingin beli-beli atau mau bawa apa-apa cukup dimasukkan saja ke kantong.

Mengurangi beli air kemasan botol, dan memilih membawa air dari rumah untuk bekal ke tempat kerja juga saya lakukan. Hitung-hitung selain lebh irit juga mengurangi sampah botol plastik semakin banyak. 

Karena saya hidup di desa dan masih banyak tumbuh tanaman-tanaman, saya lebih suka membungkus sesuatu menggunakan daun pisang atau daun jati yang banyak tumbuh alih-alih pakai kertas minyak. Selain hemat, dan ramah lingkungan juga lebih sedap rasanya jika makanan kita dibungkus dengan daun. Nggak percaya, coba deh kalian nikmati nasi yang dibungkus daun pisang atau daun jati, pasti lebih lekoh  dibanding bungkus plastik atau sterofoam.

Kalaupun ada sampah plastik di rumah, biasanya tidak langsung saya eksekusi (dibakar), tetapi saya daur ulang. Untuk botol plastik atau perkakas plastik lain, saya kumpulkan dulu. Kadang diminta anak-anak untuk dibuat mainan, semacam jedoran (alat yang digunakan sebagai mercon manual, pakai kaleng dan botol bekas, dengan pemantik dari korek gas bekas, dengan bahan bakar spiritus), cukup banyak di masa Ramadhan seperti ini. Atau saya tukarkan dengan bawang merah ke tukang loak. Lumayan hemat belanja.

Untuk plastik bekas, semisal kresek biasanya saya lipat rapi dan saya simpan, kalau sudah banyak biasanya saya kasihkan ke penjual-penjual yang membutuhkan. Biar mereka tidak usah beli, dan saya bisa menghilangkan sampah itu, tetapi tetap tidak membahayakan bumi.

Memang kecil, tapi bukankah tetes air yang konstan bisa melubangi batu pada akhirnya? kalau seorang saja bisa mengurangi sampah plastik beberapa kilogram per tahunnya, coba kalau semua orang melakukan, pasti dampaknya juga akan masiv. Semoga saja ya.


>>No diapers<<

Nah yang ini sebenarnya, bagaimana ya. Awalnya saya bukannya ingin sok-sok an mencintai bumi. Tapi waktu anak pertama lahir lalu lanjut anak kedua. saya memilih menggunakan popok kain dan clodi kalau sedang on the way. Mungkin saya terbawa kekolotan ibu, atau memandang bahwa pakai popok kain itu lebih bagus. Bahkan saya masih menjalankan pantangan-pantangan setelah melahirkan, seperti pakai cawat, pakai jarit, tidak tidur siang, tidak angkat beban berat, tidak menekuk kaki, dan masih banyak lagi. Dan juga saya mengkonsumsi jamu 40 hari pasca melahirkan sampai tuntas. Memang memakai diapers itu salah satu cara untuk meringankan kerja ibu pasca melahirkan. Tetapi saya lebih memilih memakai popok kain karena bermacam alasan. Alasan pertama tentu saja keuangan, bayangkan bayi baru lahir yang dipakaikan diapers, harus berapa kali ganti dalam sehari itu. Bayi yang baru lahir masih sering pup. Bisa sehari sampai sepuluh kali. Nah kalau harus ganti sebanyak itu, berapa banyak diapers yang harus disediakan, berapa banyak uang yang harus dikeluarkan.

Selain masalah uang, saya kasihan melihat bayi-bayi tetangga saya yang area kemaluannya penuh ruam karena dipakaikan diapers. Saya tidak mau anak saya mengalami itu juga, jadi saya pilih popok kain yang bisa langsung ganti setelah pipis atau pub. Anak lebih higienis karena pakai popok baru yang bersih. Lagi pula dengan memakai popok kain atau celana dalam kain anak lebih terstimulus rangsangan, jadi lebih mudah dalam membiasakan bilang mau pipis atau mau pup sejak dini.

Yang ketiga, saya kok belum-belum sudah mikir, nanti kalau pakai diapers, lantas limbahnya bagaimana? melihat tetangga-tetangga yang anaknya dipakaikan diapers, dan limbahnya menumpuk di belakang rumah mereka kok rasanya bagaimana begitu. Saya mikirnya apa saya bisa meng-handle  limbah itu. Kalau di desa itu seringnya dibakar, tapi membakar diapers itu bukan hal yang mudah, dan tidak lantas menghilangkan masalah. Polusi dari pembakaran itu, dan plastik yang tidak terurai masih tetap ada. Lalu sekarang malah lebih miris lagi. Di sungai-sungai kecil irigasi banyak sampah diapers yang dibuang sembarangan, atau dibuang di jalan raya tanpa tanggung jawab. Tentu saja itu menimbulkan masalah lingkungan baru.

Saya tidak mau seperti itu. Saya memilih tiap hari mencuci 2 sampai 3 kali agar persediaan popok tetap ada. Dan saya rela jemuran saya selalu penuh dengan popok kain dan alas semacam kain jarit atau kain bekas-bekas. Meski saya harus berpayah-payah mencuci tidak masalah, yang penting anak saya sehat, bumi saya juga sehat. Meski remeh tapi saya rasa hal ini cukup signifikan berpengaruh.

Kalau melihat diapers-diapers yang mengambang di sungai-sungai itu, saya bisa tiba-tiba pingin marah. Ikan-ikan jadi menghilang dan air kotor tidak bisa digunakan. Kemana sih otak oknum-oknum itu, ya Allah kok ya nggak mikir.


>>Daur ulang limbah rumah tangga<<

Nah yang ini karena ranah domestik saya, jadi lebih bisa mengkondisikan. Hidup di desa itu memang menyenangkan, pertama karena masih belum banyak polusi, kedua karena warganya asyik dan masih guyub banget, ketika lahan masih luas dan banyak hijau-hijaunya. Alhamdulillahnya saya diberi rejeki rumah dengan lahan yang luas, jadi bisa dimanfaatkan dengan maksimal. 

Limbah rumah tangga itu ada air pembuangan, sampah organik, sampah anorganik, kalau punya peliharaan nambah lagi sampah dari peliharaan itu. Karena lahan saya luas, saya memutuskan untuk merawat beberapa ternak, selain buat "rojo koyo" juga sebagai sarana pembuangan sampah organik.

Ternak peliharaan

Ternak peliharaan
Ayam peliharaan saya di kandang belakang rumah. Lumayan untuk memanfaatkan sampah organik buat pakan mereka.
Sumber: dokumentasi pribadi

Saya ada pelihara ayam, bebek, beberapa burung, dan kambing. Sampah organik saya benar-benar bisa saya manfaatkan secara maksimal sebagai pakan ternak. Misal saja nasi sisa, saya bisa campur dengan pakan unggas dan difermentasi seharian untuk pakan, atau saya keringkan dulu supaya awet, nanti ujung-ujungnya juga buat campuran pakan. Tangkai sayur, kulit buah, daun kering, semua yang organik biasanya saya fermentasikan. Hasil fermentasi itu bisa buat pakan ternak atau untuk kompos.

pemanfaatan sampah organik
Sampah organik seperti gagang sayur ini saya iris kecil-kecil untuk pakan ternak, jadi tidak terbuang percuma.
Sumber: dokumentasi pribadi.

Kalau cangkang telur, atau ampas kopi bisa difermentasikan juga buat pupuk tanaman ya, jadi saya itu kalau sampahnya organik malah senang karena bisa untuk nambah persediaan pakan ternak.

Yang sedikit masalah itu sampah anorganik. Mulai dari kemasan bekas, plastik-plastik, sampah elektronik, sampah metal, dll. Karena tidak bisa mengolahnya hal paling mudah ya saya kumpulkan untuk nanti saya tukarkan bawang ke tukang loak. Memang paling benar itu kalau dalam keseharian bisa meminimalkan penggunaan, jadi tidak ada sampahnya.

Untuk feses hewan, kotoran ayam dan bebek misalnya, saya biarkan saja dulu. Saya pakai kandang yang "diumbar" jadi unggasnya bisa eker-eker kotorannya sendiri, bercampur sisa pakan. Hasil campuran itu biasanya saya keruk kalau sudah banyak, saya pakai untuk media tanam atau pupuk tanaman. Lain lagi kalau kambing, kotoran kambing biasanya dikumpulkan dalam wadah fermentasi, lalu dijual. Ada pengepul yang mau membeli kotoran kambing tersebut.

Kandang ternak kambing
Ternak kambing yang fesesnya bisa dimanfaatkan untuk pupuk kandang, dan ternaknya bisa untuk pembuangan sampah organik untuk pakan kambing. 
Sumber: dokumentasi pribadi

Ya memang hanya sesuatu yang sederhana, karena memang saya juga bisanya yang sederhana saja :)


>>Pakai paving alih-alih coran<<

Orang desa itu didkit-dikit ngecor, dikit-dikit ngecor. Katanya biar sukete ora njebul, dan biar nggak jeblok. Jadi banyak rumah-rumah tetangga saya yang halaman depan atau belakang rumahnya dicor. Alhamdulillah saya punya kecenderungan tidak suka dengan cara itu. Dari awal lihat halaman di cor itu kok eman banget. Memang sih tujuan mereka itu selain yang saya sebut di atas, juga biasanya halaman dipakai untuk menjemur hasil panen. Jadi sekali dayung dua tiga pulau terpenuhi. Tapi sayang sekali kalau halaman di cor, nantinya tidak bisa dipakai apa-apa lagi. Misal buat tanam-tanam sayur, atau pohon peneduh.

Saya memilih halaman depan sebagian dipasang paving. Karena paving masih bisa menyerap air hujan jadi air hujan tidak terbuang. Lebih dingin juga dibanding cor. Selain itu saya mudah saja mencopot salah satu atau beberapa paving kalau mau nanam tanaman di situ. Paving juga fleksibel karena mudah dibongkar pasang. Dan paving itu berguna banget buat resapan air hujan, saat ini kan curah hujan tinggi banget, sayang kalau terbuang sia-sia dan tidak meresap ke tanah.


>>Mencuci pakai tangan alih-alih mesin cuci<<

Saya itu memang masih manual semua untuk pekerjaan rumah. Termasuk urusan cuci mencuci. Memang sih suami sering menawarkan mesin cuci ke saya, tapi saya tolak. Buat apa juga, toh saya masih sanggup mencuci manual. Alasan pertama karena pemborosan, wong ya saya cuma nyuci baju 4 orang saja, paling banter 2 bak. Masih bisa lah saya handle. Dari pada buat beli mesin cuci mending buat yang lain.

Alasan kedua, baju-baju kerja suami itu tidak bisa dicuci pakai mesin cuci karena super duper kotor dan banyak oli. Karena kerjanya memang harus berkotor-kotor. Pakai tangan saja masih banyak noda yang tertinggal dan tak bisa hilang, apalagi pakai mesin cuci.

Alasan ketiganya, yaaa apalagi kalau bukan hemat listrik dan air. Pengoperasian mesin cuci itu butuh listrik gede dan air banyak sekali. Pemborosan banget kan. Mending cuci pakai tangan, selain bikin sehat juga hemat listrik dan air. Saya malah lebih sering membilas cucian di kali belakang rumah. Efektif dan efisien banget :)

>>Menjemur di terik matahari alih-alih pakai pengering<<

Nah karena tidak punya mesin cuci, otomatis saya harus menjemur secara manual juga, pakai energi alam dong, yaitu panas matahari. Alih-alih pakai pengering yang buang-buang listrik, mending pakai yang gratis kan ya.

Tapi untuk mencegah warna baju jadi mbladus saya tidak menjemur langsung di bawah matahari, tapi di loteng atas yang ada penahan sinarnya. Meski begitu kalau matahari terik sekali baju-baju itu kering juga di sore harinya.

>>Jalan kaki atau bersepeda<< 

Nah ini gampang-gampang susah mungkin ya, tapi kalau di desa sih saya yakin lebih mudah. Mau ke warung, jalan saja wong ya dekat.Mau yang agak jauh pakai sepeda lebih sehat, kan lagi nggak keburu-buru. Antar anak ngaji boncengan sepeda lebih seru.

Selain hemat bahan bakar dan tidak bikin polusi, juga bikin badan lebih sehat. Saya itu sering sekali dikritik sama anak saya karena gendut. Mereka bilang, "ibuk lo olahraga sana biar nggak gendut". Ya ini bisa dijalankan dengan baik. Kemana-mana jalan kaki atau pakai sepeda itung-itung olahraga.

>>Hapus file di email<<

Mungkin ini dirasa sepele, tetapi hal kecil seperti menghapus file tak terpakai di email, atau aplikasi lain sebenarnya berdampak besar bagi bumi. Untuk mempertahankan dan menyimpan data-data di aplikasi itu, server butuh banyak sumber energi. Nah kan kita tahu energi itu datangnya dari mana? listrik juga kan. Listriknya dari mana? dari nergi fosil juga, kan kita tahu juga kalau energi terbarukan masih belum banyak dipakai saat ini. Jadi hal kecil seperti menghapus file tak berguna itu sebenarnya sangat perlu dilakukan. Wong ya mudah saja kok menghapus itu. Semakin banyak file dihapus, semakin banyak pula kita bisa save energi, makin besar pula kita berkontribusi untuk mencegah perubahan iklim yang semakin masiv.

>>Perbanyak ruang resapan<<

Kenapa saya menyisakan 2/3 lahan dan hanya memakai 1/3 saja untuk rumah, ya karena saya butuh lahan yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain. Dari kecil saya memang bercita-cita punya rumah dengan lahan yang luas, biar bisa dimanfaatkan. 

Rumah kecil tidak masalah, yang penting semua kebutuhan sudah ada di dalamnya. Lahan kosong lainnya bisa dimanfaatkan, selain untuk ditanami pepohonan perindang juga bisa buat menanam sayur-mayur atau untuk kandang ternak.

Banyak lahan resapan air
Separuh tanah saya saya biarkan tanpa bangunan untuk memaksimalkan resapan. Ada juga yang ditanami tanaman perindang. Sayangnya sudah banyak pohon ketela yang dicabut beberapa hariyang lalu. Awalnya samping rumah ini rindang sekali.
Sumber: dokumentasi pribadi

Kalau semua dibangun kan eman, nggak ada hijau-hijaunya. Rumah juga jadi panas. Saya memang suka punya lahan kosong yang luas, paling tidak bisa sedikit bernafas dengan lega. Saat hujan lebat seperti semalam, saya tidak khawatir akan banjir karena tahu air hujan akan diserap sempurna masuk dalam tanah dan tidak menggenang.

Sebenarnya saya juga ingin membuat lubang-lubang resapan tapi belum bisa bikin di rumah. Baru di tempat kerja saja. Saya sih mikirnya wong ya masih banyak lahan kosong yang bisa menyerap air, ya sudah lah. Nanti lubang resapan bisa diusahakan lain waktu.

>>Perbanyak lahan hijau<<

Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, 2/3 lahan saya adalah lahan kosong yang saat ini dimanfaatkan untuk tanaman perindang, sayur-mayur dan kandang ternak. Penghijauan itu menurut saya penting. Kalau melihat rumah yang tidak ada pohon atau hijau-hijaunya itu kok berasa panas banget. 

Sebelah rumah saya tanam pohon-pohon besar yang bisa menaungi rumah. Selain bermanfaat dalam membantu tanah untuk meresap air hujan dan perindang juga bisa dimanfaatkan sebagai penghasil oksigen. Paling tidak rumah terasa segar dan tidak pengap.'

Biasanya di bawahnya suami suka nanam tanaman lain, seperti cabai, terong, bunga kol, tomat dan lainnya. Tetapi sekarang masih dibiarkan kosong, hanya tinggal beberapa batang pohon ketela pohon. Sepertinya beliau sedang malas karena beberapa waktu lalu ditanami cabai dan sawi habis dimakan ternak tetangga yang dilepas.

>>Hemat Listrik<<

Saya tidak bisa memungkiri, saat ini manusia tanpa listrik tidak akan bisa apa-apa. Kebutuhan listrik juga kian meningkat. Ini saya rasakan sendiri sejak tinggal terpisah dari orangtua dan punya rumah sendiri. Apa sih yang tidak butuh listrik? mau ada air, butuh listrk, mau adem, butuh listrik, mau masak, butuh listrik. Dan masih banyak lagi.

Salah satu yang bisa saya lakukan untuk menghemat listrik adalah dengan memasang jendela besar-besar untuk menangkap sinar matahari. Jadi kalau siang semua jendela itu saya buka biar rumah terang dan tidak butuh lampu penerang. Selain itu bsa juga mengundang angin masuk rumah, jadi nggak perlu kipas angin atau AC buat ngadem. Toh samping rumah saya masih tanah lapang yang anginnya gede, apalagi kalau siang hari, wusssss.

Colokan listrik juga sebisa saya pasti saya cabut kalau sudah tidak digunakan, dan saya pasang tandon besar supaya tidak sering menyalakan pompa air. Televisi, jangan tanya mungkin sudah sepuluh tahunan nggak pernah nyala. Saya lebih suka baca buku, anak-anak lebih suka main di luar dan nggak pulang-pulang kalau nggak lapar :)

Masak pakai kompor alih-alih yang butuh energi listrik. Biasanya saya masak nasi pakai dandang, bukan pakai magic com. Kalau dihitung-hitung biaya listriknya lebih gede dibanding beli LPG. Nyuci juga manual. Kulkas disetel tidak terlalu dingin, yang pas saja. Kipas angin juga jarang sekali dipakai, karena suamitidak tahan kena kipas angin. Kalaupun super gerah terpaksa saja kipasi pakai ilir :)

Tapi ya memang untuk meniadakan listrik sama sekali itu masih mustahil buat saya. Suami sering minta pasang PLTS saja, pasang panel surya biar bisa produksi listrik secara mandiri. Tapi kok ternyata mahal juga panelnya. Mungkin nanti bisa diagendakan ya biar bisa irit listrik.

>>Daur ulang kertas<<

Hayo siapa yang masih suka bikin notebook dari kertas bekas buat kebutuhan oret-oret?. Memang sayang ya kalau kertas terbuang begitu saja. Saya itu sejak kecil sudah suka mengumpulkan kertas bekas pakai dari kantor bapak. Bagian belakangnya rata-rata masih kosong, jadi bisa dimanfaatkan untuk notes. Biasanya saja setaples saja dan saya bawa kemana-mana dalam tas. Kalau tidak karena dulu ekonomi masih belum baik, saya biasa cek buku-buku tulis, cari halaman yang masih bersih dan saya kumpulkan. Halaman-halaman yang masih bersih itu saya satukan dan saya jahit. Lumayan juga buat kebutuhan buku tulis atau oret-oret.

Kertas itu kan dibuat dari pohon. Semakin banyak kertas dipakai, semakin banyak pohon ditebang. Makin banyak pohon ditebang makin habislah penyerap karbondioksida dan penghasil oksigen di muka bumi.

Memang saya belum bisa mendaur ulang kertas untuk dijadikan sesuatu yang wow, tapi saya rasa bentuk kecil ini sudah berkontribusi dalam mencegah perubahan iklim.

>>Hemat air<<

Meski hujan beberapa tahun ini begitu melimpah, tapi saya sadar persediaan air tanah bukannya bertambah. Karena curah hujan yang sangat tinggi justru menimbulkan air hujan tidak bisa diserap dengan sempurna oleh tanah dan langsung terbuang ke laut begitu saja.

Karena sadar hal itu maka sebisa saya, saya berhemat air. Ada banyak cara juga sebenarnya, misal mematikan keran air saat menyabun tangan waktu cuci tangan atau saat mencuci piring. Mencuci baju manual, tidak pakai mesin cuci. Daur ulang air untuk menyiram tanaman atau lahan. Tetapi untuk yang satu ini saya belum bisa melakukan. Air sumur saya tidak bisa dipakai untuk menyiram tanaman, entah kenapa, mungkin karena kandungan kimianya tidak cocok. Belum pernah saya coba uji laboratorium sih. Memang rasanya agak-agak manis, tapi kalau dipakai siram tanaman, tanamannya justru mati.

#TeamUpforImpact, Ayo lakukan hal ini tiap hari #UntukmuBumiku bebas dari perubahan iklim

Nah sebenarnya apa saja yang bisa kita rutin lakukan setiap hari untuk mengurangi dampak perubahan iklim? cukup hal sederhana yang ringan dan mudah dilakukan. Ini jadwal saya tiap pekan #UntukmuBumiku lebih baik

Senin, puasa makan daging merah dong. Ingat kolesterol. Makan ikan atau sumber protein lain.

Selasabawa bekal dari rumah. Jangan beli makanan dan minuman kemasan. Saatnya tidak bikin sampah makanan hari ini.

Rabu, skip tisu ya hari ini. Pakai saputangan atau kain bekas buat lap-lap. Saatnya menjaga pohon hari ini.

Kamis, puasa gadget selama minimal 1 jam. Karena saya tidak pernah menyalakan tivi, gadget di sini bisa laptop atau HP. Saatnya mengurangi pemakaian listrik hari ini.

Jumat, mencuci manual. Hemat airmu hari ini.

Sabtu, belanja kebutuhan mingguan ke pasar, jangan lupa bawa keranjang besar dan wadah-wadah. Saatnya no plastik hari ini.

Minggu, liburkan kendaraan bermotor dari jam 21.00 malam sebelumnya sampai jam 10.00 pagi. Banyakin jalan kaki dan bersepeda untuk beraktivitas mumpung sedang libur. Saatnya no bahan bakar fosil hari ini.

Tiap hari matikan lampu-lampu saat malam hari. Bukankah tidur dalam kondisi gelap lebih sehat dan bikin langsing :)

Kesimpulan

Perubahan iklim memang nyata, dan bisa saya dan teman-teman rasakan. Memang mungkin dampaknya beragam di berbagai daerah, tetapi saya yakin itu bukan hal yang baik. Perubahan iklim ini membawa musibah di berbagai tempat, bukan malah memberi sesuatu yang positif.

Pemanasan global yang semakin masiv memang bisa dikatakan sebuah simalakama. Manusia tanpa industri, I think it's big no, tetapi industri mau tidak mau telah memberikan dampak begitu rupa pada pemanasan global. Bumi yang terlalu panas akan membuat ekosistem mengalami kegagalan keberlanjutan.

Kepunahan massal ada di depan mata, maka sudah saatnya kita, saya dan teman-teman memulai langkah untuk memperbaiki kesalahan ini. Gerakan #UntukmuBumiku harus kita usung dalam kehidupan sehari-hari. mari kita, saya dan teman-teman menjadi #TeamUpforImpact dalam gerakan menghijaukan bumi dan meminimalkan pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim saat ini. 

Tidak perlu harus yang muluk-muluk, apa yang kita bisa dulu. Meski kecil tetapi jika dilakukan secara konsisten oleh banyak orang, dampaknya juga akan signifikan. Tidak masalah jika kita menjadi lebih sulit dan lebih lama dalam beraktivitas, asalkan hal itu bisa menyumbangkan sesuatu yang meski kecil tapi berarti untuk bumi. 

Menurut saya sih, mungkin nanti para anak bangsa yang pintar-pintar itu bisa membuat penelitian bagaimana memecah gas-gas rumah kaca yang berlebih di atmosfer tersebut menjadi partikel tunggal atau senyawa yang lebih bersahabat untuk bumi. Atau mungkin juga dengan banyaknya sumber energi terbarukan di Indonesia, kita bisa beralih memaksimalkan energi terbarukan tersebut sebagai sumber energi alih-alih energi fosil.

Banyak hal sih ya, semoga ke depan manusia lebih bisa bersahabat dengan bumi. Bumi adalah tempat kita hidup, mari kita rawat agar rumah kita ini tidak roboh dan berbalik mematikan penghuninya.


Artikel ini diikutsertakan dalam lomba "Perubahan iklim di sekitarku" yang diadakan oleh Blogger Perempuan Network 

Ikuti akun media sosial Blogger Perempuan Network, yaitu: Facebook: Blogger Perempuan Network  Instagram: @bloggerperempuan , Twitter: @BPerempuan

Referensi:

https://id.wikipedia.org/wiki/Gas_rumah_kaca

https://dlhk.jogjaprov.go.id/mengenal-lebih-dekat-gas-rumah-kaca

http://ditjenppi.menlhk.go.id/kcpi/index.php/info-iklim/dampak-fenomena-perubahan-iklim

https://indonesiabaik.id/infografis/mengenal-perubahan-iklim-faktor-dan-dampaknya

https://www.gramedia.com/literasi/cara-mengatasi-pemanasan-global/

https://www.idntimes.com/science/experiment/mohammad-yusuf/cara-mencegah-pemanasan-global-c1c2


Author

Marwita Oktaviana

Blogger, Book lover, Writing Enthusiast, A friend of a many students